Dari Tiktok ke Kercerdasan Buatan: Pertarungan Baru Identitas dan Kekusaan di Era Platform
Teknologi | 2025-12-04 13:41:20
Ditengah deranya arus digitalisasi, Indonesia sedang berada dipsersimpangan sejarah. Tiktok shop ditutup lalu dibuka kembali dengan regulasi baru, kecerdasan buatan (AI) masuk ke dunia kerja dan pendidikan, Instagram, youtube, dan marketplace lain terus menggeser pola konsumsi masyarakat. Semua perubahan yang terjadi bisa dibaca sebagai kemajuan teknologi. Namun , dari kacamata sosiologi, kita sedang menyaksikan transformasi sosial yang lebih besar. Perubahan struktur kekuasaan, relasi sosial, dan identitas kultural masyarakat Indonesia.
Platform digital bukan sekedar aplikasi, tapi mereka adalah aktor sosisal baru yang memengaruhi cara kita bekerja, berinteraksi, memahami diri sendiri, bahkan cara kita melihat dunia. Kecepatan algoritma kini menjadi kekuatan tak terlihat yang mengatur kehidupan kita sehari-hari.
Gelombang Tiktok dan Lahirnya Ekonomi Perhatian
Tidak ada platform yang memengaruhi perilaku generasi muda secepat Tiktok. Dengan durasi vidio pendek dan algorima hiper-personal, Tiktok membentuk budaya implusivitas, kecepatan, dan komunikasi visual ekstrem. Dalam konteks sosiologi media, ini disebut sebagai attention economy atau ekonomi yang berjalan dengan cara mengkomodifikasi perhatian manusia.
Algoritma Tiktok bukan bekerja bukan hanya menampilkan konten yang disukai pengguna, tetapi juga mengarahkan selera, gaya hidup, hingga pola konsumsi. Fenomena viral seperti haul belanja, live selling, dan tren kecantikan adalah bukti bahwa algoritma kini menjadi produsen budaya yang lebih kuat daripada televisi atau iklan tradisional.
Akibatnya, budaya instan tumbuh kuat, sesuatu akan berharga jika viral saja, tidak memandang seberapa bagus kualitas yang dimiliki. Perubahan ini menambah tekanan identitas, terutama bagi remaja. Tiktok memproduksi standar kecantikan, gaya hidup, dan gambaran sukses yang beragam. Banyak anak muda akhirnya merasa harus tampil sempurna agar diterima, sehingga pencarian jati diri bergeser menjadi upaya memenuhi ekspetsi isual yang dibentuk oleh algoritma. Tekanan serupa dialami UMKM lokal, mereka tidak hanya dituntuk untuk menghasilkan produk yang baik, tetapi juga membuat kontek yang menarik agar tetap terlihat oleh masyarakat. Tanpa kemampuan mengikuti trend digital, banyak pelaku usaha yang kecil yang tenggelam ditengah persaingan. Tiktok tidak hanya merevolusi pasar tetapi merevolusi cara masyarakat memaknai diri dan pekerjaaan.
Platform sebagai Kekuasaan Baru: Dari Marketplace ke Monopoli Digital
Di ruang ekonomi, platform digital telah mengubah struktur pedagangan nasional. Shopee, Tokopedia, Tiktok Shop, dan Lazada menjadi gerbang utama antara produsen dan kosumen. Namun kekuasaan mereka tidak netral, karena mereka menentukan harga, visibilitas, hingga perilaku pasar melalui kebijakan dan algoritma yang tidak sepenuhnya transparan.
Sosioalogi pembangunan melihat fenomena ini sebagai bentuk kekuasaan digital, sebuah struktur baru di mana kontrol beradapa pada perusahaan teknologi global yang menguasai data dan infrastruktur digital. Ketika Tiktok Shop ditutup, jutaan pedagang kecil terpukul. Ketike kebijakan fee dan komisi diubah, pendapatan UMKM bisa naik turun dalam sekejap. Dalam struktur ini, pelaku ekonomi lokal tidak memiliki otonomi, karena mereka berada dalam relasi ketergantungan terhadap platfrom.
Kondisi ini mencerminkan pola globlisasi yang dibahas dalam teori sistem dunia, seperti negara-negara berkembang menjadi bagian dari ekosistem kapital global yang digerakkan oleh perusahaan teknologi transnasional. Bedanya, komoditas utama hari ini bukan lagi sumber daya alam, tetapi data dan perhatian. Indonesia menjadi pasar sekaligus sumber data raksasa, namun kendali penuh berada di tangan platform yang bermarkas jauh dari konteks sosial kita.
AI dan Perubahan Struktur Kerja
Gelombang kecerdasan buatan mempercepat transformasi ini, karena AI menambah pendidikan pekerjaan administratif, layanan pelanggan, hingga indutri kreatif. Argumentasi bahwa AI sekedar alat yang akan membanu manusia agar tidak sepenuhnya keliry, tetapi dari perspektif sosiologi, AI menciptakan relasi kekuasaan baru antar pekerja, perusahaan, dan teknologi.
Di banyak sektor, AI memproduksi ketidakpastian baru, seperti pekerja merasa terancam digantikan, mahasiswa khawatir kreativitas mereka dibandingkan dengankecerdasan mesin, birokrat mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dalam administrasi digital yang terus berubah. AI juga menghadirkan bentuk baru dari apa yang disebut sosiologi sebagai “kontrol algoritmik” di mana keputusan kerja semakin ditentukan oleh sistem otomatis, bukan manusia.
Dalam jangka panjang, AI berpotensi menciptakan kelas pekerja baru yang rapuh, mirip dengan “precariat” di sektor gig economy mereka bekerja tanpa kepastian, diukur oleh metrik digital, dan bergantung pada sistem yang tidak mereka kuasai. Digitalisasi yang dijanjikan sebagai pemberdayaan justru dapat memperluas ketimpangan sosial dan pendidikan antara mereka yang paham teknologi dan yang tertinggal.
Krisis Identitas di Era Platform
Perubahan teknologi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada struktur makna dan identitas. Platform digital menciptakan hibriditas budaya yang sebelumnya belum pernah terjadi. Generasi muda hidup di persilangan nilai lokal, tren global, dan narasi algoritmik. Mereka tidak lagi membentuk identitas melalui keluarga dan lingkungan sekitar saja, tetapi melalui interaksi digital yang terjadi dalam skala global.
Disinilah perspektif sosiologi budaya sanagat relevan, karena globalisasi menciptakan identitas hibrid, sementara digitalisasi memepercepat prosesnya. Namun hibriditas ini juga menimbulkan konsekuensi. Banyak individu merasa hidup dalam dua dunia yang sering berbenturan, dunia nayata yang menuntut konsistensi dan dunia digitak yang menuntut perfeksionisme visual.
Negara, Warga, dan Kedaulatan Digital
Dimana posisi negara? Dalam banyak kasus, negara justru tertinggal dari kecepatan inovai digital. Penutupan Tiktok Shop memperlihatkan betapa sulitnya merumuska regulasi yang seimbang antara perlindungan pedagang lokal dan dinamika ekonomi digital. Negara dihadapkan dilema untuk mengontrol arus informasi kedualatan digital atau membiarkan pasar digital tumbuh tanpa batas atas inovasi.
Relasi negara dalam masyrakat berubah drastis. Warga memiliki ruang ekspresi politik yang lebih luas, tetapi juga rentan terhadap disinformasi dan polarisasi. Disinilah negara harus menyadari bahwa digitalisasi bukan hanya proyek teknis, ttapi proyek sosial, karena membentuk ulang struktur kekuasaan, partsipasi, dan legitimasi politik.
Pertarungan yang belum selesai
Era Tiktok dan kercerdasan buatan membawa Indonesia pada babak baru globalisasi. Kita bukan hanya mengahdapi perubahan teknologi, tetapi pertarungan identitas, kekuasaan, dan masa depan sosial. Platform digital telah menghubungkan kita dengan dunia, tetapi juga menciptakan ketimpangan baru. Mereka membuka peluang bagi UMKM dan kreator lokal, namun sekaligus menempatkan merekadalam arsitektur kekuasaan algoritmik yang sulit untuk dipahami.
Pertanyaan yng harus dijawab bukan sekedar apakah kita mampu mengikuti perkembangan teknologi, tetapi apakah kita mempu menciptakan ttanan digital yang adil, inklusif, dan bedaulat. Pembangunan digital Indonesia tidak boleh hanya mengikuti logika pasar globa, tapi harus berakar pada kepentingan masyarakat, idetitas lokal, dan prinsip keadilan sosial.
Krena pada akhirnya, pertarungan terbesar di era platform bukanlah antara manusia melawan mesin, tetapi antara masyarakat melawan struktur kekuasaan baru yang bekerja secara diam-diam melalui layar kecil di tangan kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
