Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desrita Marella Geraldine Tulas

Diplomasi Hijau sebagai Soft Power: Arah Baru Strategi Global Indonesia

Politik | 2025-10-15 20:14:51



Perubahan iklim kini menjadi panggung baru bagi perebutan pengaruh global. Di tengah rivalitas geopolitik antara kekuatan besar, perhatian dunia beralih pada siapa yang mampu menawarkan solusi atas krisis planet, bukan sekadar dominasi militer atau ekonomi. Dalam konteks ini, diplomasi hijau (green diplomacy) muncul sebagai dimensi baru dari soft power sebuah kekuatan yang bersumber dari daya tarik moral dan kepemimpinan lingkungan. Bagi Indonesia, negara dengan keanekaragaman hayati luar biasa dan posisi strategis di Indo-Pasifik, diplomasi hijau bukan hanya peluang, tetapi kebutuhan strategis untuk menjaga relevansi di kancah global.

Diplomasi hijau dapat dimaknai sebagai kemampuan suatu negara memengaruhi sistem internasional melalui komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, ekonomi hijau, dan tanggung jawab global terhadap bumi. Negara-negara besar telah memanfaatkan narasi hijau ini untuk memperkuat posisi mereka. Uni Eropa, misalnya, menjadikan European Green Deal sebagai instrumen diplomatik dan ekonomi, sementara Tiongkok menggaungkan “ecological civilization” sebagai identitas global barunya. Indonesia pun memiliki modal kuat untuk memainkan peran serupa: luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, potensi energi terbarukan yang besar, dan pengalaman panjang dalam mengelola sumber daya alam yang menjadi kepentingan global.

Namun, selama ini diplomasi Indonesia di bidang lingkungan masih cenderung reaktif—terbatas pada isu teknis seperti kebakaran hutan atau komitmen pengurangan emisi karbon. Padahal, yang dibutuhkan kini adalah perubahan paradigma: dari diplomasi defensif menjadi diplomasi proaktif. Indonesia harus tampil sebagai norm entrepreneur, pencipta norma baru tentang keadilan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang inklusif. Dengan posisi sebagai pemimpin de facto di ASEAN dan anggota G20, Indonesia memiliki panggung untuk mendorong konsensus global tentang transisi hijau yang tidak mengorbankan pembangunan ekonomi negara berkembang.

Diplomasi hijau juga dapat menjadi reinterpretasi dari politik luar negeri “bebas aktif” yang menjadi fondasi strategi Indonesia sejak era Soekarno. Bebas—karena Indonesia tidak harus terjebak dalam rivalitas blok Barat dan Timur dalam isu energi atau teknologi hijau. Aktif—karena Indonesia dapat mengambil inisiatif memimpin kolaborasi regional, seperti pengembangan energi bersih ASEAN, perdagangan karbon lintas negara, atau kerja sama konservasi laut di Indo-Pasifik. Dengan cara ini, prinsip bebas aktif tidak hanya bertahan, tetapi berevolusi menjadi bentuk baru yang relevan dengan tantangan abad ke-21.

Lebih jauh, diplomasi hijau adalah wajah baru soft power Indonesia. Ia menampilkan kekuatan yang tidak memaksa, tetapi menginspirasi. Komitmen terhadap keberlanjutan menciptakan citra internasional yang kredibel dan menumbuhkan kepercayaan. Langkah-langkah konkret seperti restorasi mangrove, penghentian deforestasi, dan transisi energi terbarukan bukan hanya kebijakan domestik, melainkan bentuk diplomasi reputasi. Dunia menilai negara bukan dari seberapa kuat militernya, tetapi seberapa besar kontribusinya terhadap masa depan bumi. Dalam kerangka ini, diplomasi hijau adalah strategi membangun pengaruh global tanpa konfrontasi.

Selain memperkuat citra, diplomasi hijau juga memiliki nilai ekonomi dan geopolitik. Dalam era transisi energi, negara yang mampu menyediakan bahan baku ramah lingkungan, teknologi bersih, dan mekanisme pendanaan hijau akan menjadi pemain kunci dalam ekonomi masa depan. Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya nikel dan potensi energi surya, bukan sebagai komoditas mentah, tetapi sebagai basis bagi industri hijau regional. Jika dikelola dengan visi strategis, diplomasi hijau bisa menjadi pintu bagi investasi, transfer teknologi, dan kemitraan global yang memperkuat kemandirian nasional.

Namun, diplomasi hijau tidak akan efektif tanpa konsistensi kebijakan domestik. Kredibilitas Indonesia di mata dunia bergantung pada kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Deforestasi, ketergantungan pada batu bara, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan bisa melemahkan daya tarik soft power hijau Indonesia. Oleh karena itu, diplomasi hijau harus berjalan seiring dengan reformasi kebijakan nasional: penguatan ekonomi sirkular, perlindungan ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan. Diplomasi yang meyakinkan selalu berakar pada praktik yang nyata di dalam negeri.

Pada akhirnya, diplomasi hijau menawarkan jalan tengah antara idealisme dan kepentingan nasional. Ia menggabungkan moralitas keberlanjutan dengan strategi geopolitik yang cerdas. Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, keberanian untuk menjadi pelopor solusi adalah bentuk kekuatan baru. Indonesia tidak perlu menyaingi kekuatan besar melalui kekuatan keras, tetapi bisa memimpin dengan keteladanan, empati, dan komitmen pada bumi. Karena dalam diplomasi abad ini, pemimpin sejati bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling peduli.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image