Batik sebagai Soft Power Indonesia: Diplomasi yang Mendunia
Politik | 2025-10-15 21:54:46
Batik sebagai soft power Indonesia diakui UNESCO sejak 2009 dan kini menjadi kekuatan diplomasi budaya yang mendunia. Ketika UNESCO menetapkan batik sebagai Inkangible Cultural Heritage of Humanity pada 2 Oktober 2009. Kalimat ini sering kita dengar dengan sebutan Hari Batik Nasional. Namun, kain yang bermotif dan bercorak dari Indonesia ini bukan hanya sekedar pakaian, melainkan simbol kuat yang mengandung nilai sejarah, filosofi, dan kebanggaan nasional Indonesia.
Sebelum, Malaysia sempat mengklaim batik sebagai warisan budayanya, namun melalui diplomasi yang aktif di 19 provinsi, penyusunan proposal pada 3 September 20008, dan di uji penilaian tertutup UNESCO di Paris (11-14 Mei 2009), yang di mana Indonesia berhasil membuktikan otoritas batik sebagai identitas bangsa yang sah di mata dunia. Dalam era persaingan global yang semakin ketat, ketika negara-negara berlomba menunjukkan pengaruhnya tidak hanya militer atau ekonomi, budaya justru menjadi alat diplomasi yang paling halus dan efektif, seperti budaya dari K-pop Korea hingga kuliner Jepang lewat kulinernya. Maka, pertanyaannya: sejauh mana Indonesia telah menggunakan batik sebagai instrumen soft power untuk memperkuat posisi di dunia?
Konsep soft power itu diperkenalkan oleh Joseph Nye (1998) yang di mana beliau menjelaskan bahwa daya tarik budaya dapat menjadi kekuatan strategis untuk mempengaruhi negara lain tanpa paksaan. Batik, dengan filosofi harmoni dan kesabaran yang tertanam di tiap motifnya, ini mencerminkan dari karakter politik luar negeri Indonesia yang damai dan kooperatif.
Menurut Anna Yulia Hartati dalam penelitian Soft Power Diplomacy: Studi tentang Diplomasi Batik Indonesia, diplomasi batik dapat berjalan efektif jika dilakukan melalui tiga langkah yang strategis:
1. Menanamkan citra baik, bila belum terbentuk
2. Mengembangkan citra, bila sudah ada upaya promosi; dan
3. Memelihara cira positif, bila pengakuan sudah diraih di tingkat nasional.
Langkah-langkah ini sejalan dengan Cetak Biru Pelestarian dan Pengembangan Batik Nasional 2012-2015, yang menetapkan tiga peran utama dalam batik nasional:
• Sebagai motor penggerak ekonomi kreatif,
• Sebagai warisan budaya dan identitas bangsa, serta
• Sebagai alat diplomasi antarbangsa.
Pemerintah telah mengimplementasikan langkah-langkah itu melalui berbagai inisiatif: pendirian Museum Batik Pekalongan (2006), penetapan Hari Batik Nasional (2009), pemberian batik secara cendera mata diplomatik dalam forum internasional, serta penyelenggaraan Pekan Batik Internasional. Semua ini memperkuat posisi batik sebagai alat diplomasi budaya (cutural diplomacy).
Menurut data terbaru dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia(Kementerian Perindustri, 2025)), industri batik nasional tercatat telah menyerap sekitar 200.000 tenaga kerja yang tersebar di 201 sentra industri batik dan melibatkan lebih dari 5.946 pelaku industri kecil dan menengah (IKM) di 11 provinsi di Indonesia. Industri batik juga menjadi bagian penting dalam penguatan ekonomi kreatif nasional karena menyumbang nilai ekspor hingga USD 7,63 juta pada triwulan I tahun 2025, meningkat 76,2 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.(Antara New, 2024)
Pusat produksi batik terbesar berada di Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta, yang selama ini menjadi ikon sekaligus tulang punggung ekspor produk kerajinan nasional. Pemerintah melalui Ditjen Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin terus mendorong regenerasi pengrajin muda serta digitalisasi pemasaran batik untuk memperkuat daya saingnya di pasar global.
Namun, kekuatan soft power batik tidak hanya bertumpu pada negara. Perancang muda, selaku UMKM, dam diaspora Indonesia turut membawa batik ke panggung global dari peragaan busana di Paris hingga kampanye digital di media sosial. Ini adalah bentuk people to people diplomacy yang memperkuat citra Indonesia secara alami dan berkelanjutan.
Bangsa yang dihargai adalah bangsa yang menjaga budayanya, bukan hanya sekedar memilikinya. Pengakuan UNESCO terhadap batik ini menjadi bukti yang sangat kuat bahwa kekuatan budaya dapat menjadi strategi politik luar negeri yang paling efektif. Dengan potensi ekonomi dan nilai diplomatik yang tinggi, batik seharusnya tidak hanya dianggap warisan, tetapi juga dianggap sebagai bagian dari strategi nasional dalam memperkuat posisi Indonesia di dunia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
