Senyum di Ruang Kelas: Wujud Nyata Keberhasilan Teori Humanisme
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-09 20:44:00Pendidikan sering kali digambarkan sebagai proses mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Namun pandangan ini terlalu sempit jika dibandingkan dengan hakikat sejati pendidikan yakni membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang membangun kepribadian, empati, dan kebahagiaan dalam belajar. Di sinilah teori humanisme memainkan peran penting. Teori ini menekankan bahwa proses belajar harus berpusat pada manusia pada kebutuhan, potensi, dan perasaan peserta didik. Dalam kerangka ini “belajar dengan senyum” menjadi simbol dari suasana belajar yang hangat, memanusiakan, dan menumbuhkan semangat. Guru yang mampu menumbuhkan senyum di ruang kelas bukan sekadar pengajar, melainkan guru hebat yang memahami rahasia terdalam dari teori humanisme.
Teori humanisme lahir sebagai reaksi terhadap pendekatan-pendekatan pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif dan mekanistik seperti behaviorisme yang menekankan stimulus dan respons, atau kognitivisme yang fokus pada proses berpikir. Tokoh-tokoh seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers menjadi pelopor aliran ini. Mereka berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi bawaan untuk tumbuh, berkembang, dan mencapai aktualisasi diri.
Menurut Maslow kebutuhan manusia tersusun dalam hirarki mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan tertinggi, yaitu aktualisasi diri. Dalam konteks pendidikan, seorang peserta didik tidak akan optimal belajar jika kebutuhan dasarnya seperti rasa aman, dihargai, dan diterima tidak terpenuhi. Sementara itu, Carl Rogers menekankan pentingnya “student-centered learning” yaitu pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses belajar. Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan pribadi dan intelektual murid.
Dari dua tokoh inilah muncul gagasan bahwa belajar bukan sekadar menumpuk informasi, tetapi perjalanan menemukan diri sendiri. Guru hebat adalah guru yang memahami bahwa ia tidak hanya mengajar isi buku, tetapi juga menyalakan semangat, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan menumbuhkan kepercayaan diri siswa. Dan semua itu berawal dari satu hal sederhana: senyum. Senyum bukan sekadar ekspresi wajah, melainkan bahasa universal yang menyampaikan pesan empati, penerimaan, dan kasih sayang. Ketika seorang guru menyambut siswanya dengan senyum tulus di pagi hari, suasana kelas pun berubah. Anak-anak merasa diterima, dihargai, dan bersemangat. Dari sinilah prinsip humanisme bekerja secara nyata.
Dalam pandangan humanistik, emosi memiliki peran sentral dalam proses belajar. Otak manusia lebih mudah menyerap informasi ketika seseorang merasa aman dan bahagia. Oleh karena itu, senyum dansikap ramah guru bukan hanya etika sosial, tetapi juga strategi pedagogis yang berdampak langsung pada efektivitas belajar.
Guru yang tersenyum juga mencerminkan kehadiran empatik, yaitu kemampuan untuk hadir secara penuh bagi murid mendengar dengan hati, memahami tanpa menghakimi, dan membimbing tanpa memaksa. Dalam kelas yang seperti ini, kesalahan tidak dipandang sebagai kegagalan, melainkan kesempatan untuk belajar.
Murid pun berani mencoba, bereksperimen, dan mengekspresikan diri tanpa takut disalahkan. Di dalam kelas tradisional, guru sering dianggap sebagai pusat pengetahuan. Murid-murid duduk diam, mencatat, dan menerima informasi tanpa banyak bertanya. Namun, dalam perspektif humanistik, peran guru bergeser dari “penguasa” menjadi fasilitator pertumbuhan. Guru hebat bukan yang paling banyak berbicara, tetapi yang paling banyak mendengarkan
Carl Rogers memperkenalkan konsep “unconditional positive regard” yang bermakna penerimaan tanpa syarat terhadap individu. Dalam praktik mengajar, hal ini berarti guru menghargai setiap murid apa adanya, terlepas dari kemampuan akademik atau latar belakangnya. Guru yang humanis tidak cepat menghakimi murid yang nilainya rendah atau berperilaku sulit sebaliknya, ia mencari akar masalah dan membantu dengan kasih.
Dengan demikian ruang kelas menjadi tempat aman bagi setiap anak untuk tumbuh sesuai potensinya. Guru hebat memahami bahwa setiap anak unik. Ada yang belajar dengan cepat melalui gambar, ada yang memahami konsep lewat praktik, dan ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna ide abstrak. Dalam kerangka humanisme, perbedaan ini bukan masalah, melainkan keindahan dalam keberagaman manusia. Maka,strategi pembelajaran pun disesuaikan dengan gaya belajar masing-masing murid. Guru tidak lagi memaksa keseragaman, tetapi menumbuhkan keaslian.
Bagaimana wujud nyata “belajar dengan senyum”?
Sebuah kelas yang humanis bisa dikenali dari suasananya. Di sana, tawa dan diskusi berjalan beriringan. Guru membuka pelajaran dengan sapaan hangat, mungkin bercerita tentang pengalaman hidup yang relevan dengan topik pelajaran. Murid-murid tidak takut mengajukan pertanyaan atau bahkan mengoreksi guru jika ada kekeliruan. Setiap keberhasilan kecil dirayakan bersama, dan setiap kesalahan dijadikan bahan refleksi bersama.
Guru humanis juga memahami bahwa belajar tidak harus selalu serius. Misalnya, guru dapat menggunakan permainan sederhana untuk menjelaskan pembelajaran, guru dapat mengajak murid membuat keterampilan untuk membangun kreativitas dan memudahkan meraka dalam memahami konsep pembelajaran.
Dalam kegiatan-kegiatan seperti ini senyum bukan hanya hiasan, tetapi hasil dari keterlibatan emosional dan intelektual murid dalam belajar. Selain itu, guru humanis berusaha menciptakan komunikasi dua arah yang terbuka. Ia menanyakan pendapat murid, mendengarkan dengan tulus, dan memberi umpan balik yang membangun.
Dengan demikian murid merasa dihargai sebagai individu yang memiliki suara. Suasana seperti ini memperkuat rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi intrinsik atau dorongan belajar yang datang dari dalam diri sendiri, bukan karena takut pada nilai atau hukuman.
Banyak anak kehilangan semangat belajar karena pernah terluka dalam prosesnya. Misalnya saat dimarahi karena salah, dibandingkan dengan teman, atau diabaikan karena dianggap tidak mampu. Luka-luka seperti ini menumpuk dan menumbuhkan keyakinan negatif dalam diri anak bahwa mereka bodoh, tidak cukup baik, atau tidak pantas sukses. Di sinilah guru hebat memainkan peran penyembuh. Senyum, perhatian, dan penerimaan tulus guru dapat memulihkan luka tersebut perlahan-lahan. Seorang murid yang sebelumnya takut berbicara mungkin mulai berani mengacungkan tangan yang dulunya sering bolos mulai datang lebih awal karena merasa nyaman di kelas. Inilah keajaiban kecil dari teori humanisme ketika diterapkan dengan hati.
Guru hebat tidak mengajar dari buku semata tetapi dari hati yang memahami manusia. Ia sadar bahwa tugas pendidik bukan hanya mencetak siswa berprestasi, tetapi membimbing mereka menjadi manusia yang bahagia, percaya diri, dan siap menghadapi kehidupan. Ketika guru mengajar dengan senyum, ia sedang menanam benih kasih yang kelak tumbuh menjadi pohon karakter pada diri anak didiknya.
Pada akhirnya “belajar dengan senyum” bukan sekadar slogan, tetapi filosofi yang mencerminkan inti dari teori humanisme: memanusiakan proses belajar. Guru hebat adalah mereka yang tidak hanya pandai menjelaskan materi, tetapi juga pandai memahami manusia. Ia menciptakan kelas yang hidup, penuh empati, dan menyenangkan. Ia tahu bahwa satu senyum tulus bisa membuka hati yang tertutup, satu kata pujian bisa menyalakan semangat yang padam, dan satu tindakan penuh kasih bisa mengubah arah hidup seorang anak.
Dalam dunia pendidikan yang sering terjebak pada angka dan hasil ujian, pendekatan humanistik mengingatkan kita untuk kembali ke esensi bahwa pendidikan adalah tentang manusia. Selama masih ada guru yang mengajar dengan senyum, masih ada harapan bagi dunia untuk menjadi tempat yang lebih baik tempat di mana setiap anak merasa berharga, diterima, dan dicintai.
Oleh: Hafiza Silmi Ramzani, Najla Hanna Nisrina Yafi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Pamulang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
