Ngaku Mau Jadi Data Scientist? Jangan Lupakan Matematika Dasarnya
Teknologi | 2025-12-09 07:02:59
Akhir-akhir ini, profesi data scientist lagi rame banget dibicarain. Katanya sih kerjaan ini keren, gajinya tinggi, dan masa depannya cerah. Jadi nggak heran kalau makin banyak anak muda yang penasaran, terus buru-buru ikut kursus singkat atau bootcamp. Di medsos juga sering muncul iklan “jadi ahli data dalam 3 bulan” kedengarannya gampang banget, kan?
Saya sendiri masih mahasiswa baru, baru nyemplung ke dunia ini.
Dan jujur, pertanyaan yang sering muncul tuh gini: “Kalau udah bisa Python atau bikin visualisasi data, itu cukup belum buat jadi data scientist?” Jawaban jujurnya: nggak. Banyak orang masih salah paham. Mereka kira sains data cuma soal coding sama bikin visualisasi data. Padahal, itu baru kulit luarnya. Kalau cuma bisa jalanin software tanpa ngerti dasarnya, ya sama aja kayak tukang ketik: bisa ngetik cepat di Word, tapi nggak otomatis bisa nulis novel.
Di balik kecanggihan profesi ini, ada fondasi yang sering dilupakan, yaitu matematika. Dua cabang utamanya, aljabar linier dan statistik. Sejak awal saya belajar, dosen dan kakak tingkat selalu menekankan: kalau mau serius di sains data, jangan alergi sama matematika.
Statistik adalah bahasa utama untuk membaca data. Dari distribusi, regresi, probabilitas, hingga uji hipotesis, semua berakar pada statistik. Tanpa itu, analisis data hanya jadi tebak-tebakan. Bayangkan sebuah perusahaan e-commerce ingin memprediksi perilaku konsumen menjelang akhir tahun. Jika analisnya tidak memahami konsep distribusi, prediksi yang dihasilkan bisa membuat strategi bisnisnya meleset. Aljabar linier menjadi dasar dari banyak algoritma. Bahkan konsep sederhana seperti matriks dan vektor ternyata jadi inti dalam pemrosesan data. Bahkan kalkulus ikut berperan, memang lebih terasa “teoritis”, tapi penting untuk optimisasi. Banyak metode machine learning sebenarnya berakar dari kalkulus, walau sering tidak disadari pemula.
“Kan Ada Aplikasi Praktis, Jadi Tidak Perlu Ribet?”Saya sering dengar teman bilang, “Tenang, sekarang kan ada banyak aplikasi dan platform praktis. Tinggal klik atau jalankan kode yang sudah ada, analisisnya langsung keluar.” Benar, aplikasi dan template siap pakai itu memang memudahkan. Tapi coba bayangkan kalau hasilnya melenceng, data ternyata tidak seimbang, atau metode standar yang tersedia tidak cocok dengan masalah yang kita hadapi. Kalau cuma mengandalkan copy-paste code dari tutorial, pasti kebingungan. Sebaliknya, mereka yang paham matematika bisa melacak di mana masalahnya, menyesuaikan cara analisis, dan tetap pegang kendali. Itulah bedanya: jadi tukang pakai software, atau jadi orang yang ngerti ilmunya.
Belajar coding itu ibarat memasak dengan resep instan. Hasilnya bisa jadi lumayan, cepat, dan gampang. Tapi menguasai matematika seperti paham ilmu gizi dan kimia makanan. Dengan itu, seorang koki bisa bereksperimen, mengubah resep, bahkan menciptakan yang baru. Kalau hanya bisa mengikuti resep, kemampuan kita terbatas. Tapi kalau menguasai ilmunya, kita bisa jadi inovator. Begitu juga dalam sains data.
Buat kita yang masih mahasiswa dan baru mulai perjalanan di bidang ini, mudah sekali tergoda oleh shortcut. Kursus cepat atau aplikasi praktis memang membantu, tapi jangan sampai membuat kita melupakan pondasi. Aljabar dan statistik mungkin terasa berat di awal, tapi justru itulah bekal yang akan menentukan sejauh mana kita bisa melangkah di dunia data. Coding bisa dipelajari dalam hitungan minggu, tapi matematika adalah investasi jangka panjang.
Data memang ibarat emas. Tapi emas hanya bernilai kalau kita tahu cara mengolahnya. Dan alat pengolah paling tajam yang kita punya bernama: matematika.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
