Kreativitas Manusia yang Mulai Sekarat di Tahun 2025: Bola Salju Kekuasaan AI
Teknologi | 2025-12-09 03:41:41Tiga tahun yang lalu, dalam sebuah kelas ekstrakurikuler Desain Komunikasi Visual (DKV) tingkat SMA, untuk pertama kalinya saya diajak untuk mengenal kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence, khususnya Generative AI untuk pembuatan gambar digital guna pembuatan desain grafis. Saat itu, yang terlintas di pikiran anak-anak adalah betapa canggihnya dunia sekarang, bisa mengubah ketikan menjadi gambar. Namun, seiring berjalannya waktu, ketergantungan kepada AI seperti melenyapkan kemampuan manusia untuk berpikir kreatif.
AI atau Artificial Intelligence merujuk kepada suatu teknologi atau sistem komputer yang dapat melakukan tugas-tugas rumit yang biasanya dilakukan oleh manusia seperti penalaran, pengambilan keputusan, penciptaan, dan sebagainya (NASA, 2024). Meskipun banyak yang merasa AI telah membantu manusia dalam berbagai aspek, manusia seperti terlalu bergantung kepada AI. Tahun 2025 ini, diskusi mengenai AI kini sangat relevan karena semakin dipergunakan secara luas. Teknologi kecerdasan buatan mengalami perkembangan setiap tahunnya, namun kecerdasan manusia seakan-akan mengalami kemunduran.
Generative AI merupakan salah satu jenis kecerdasan buatan yang dapat menciptakan teks, gambar, video, dan audio. Generative AI inilah yang seringkali digunakan untuk membuat berbagai macam bentuk “seni” seperti ilustrasi, musik, dan cerita. AI mempermudah proses pembuatan teks, gambar, video, dan audio, karena hanya dengan mendeskripsikan karya yang ingin dibuat, AI dapat menghasilkannya dalam hitungan menit.
AI mulai menuai kontroversi saat Generative AI digunakan untuk membuat ilustrasi. Efek bola salju kekuasaan AI dimulai pada awal tahun 2025, di bulan Maret saat ChatGPT meluncurkan fitur baru dalam model GPT-4o yang dapat menghasilkan gambar dan ilustrasi. Model baru ini dapat dengan mudah meniru gaya artistik yang sudah pernah ada sebelumnya. Dari sini, muncullah tren baru dimana orang-orang mengubah foto dirinya menjadi ilustrasi gaya Disney, Anime, maupun Ghibli. Pada awalnya, tren-tren ini sepertinya tidak menyakiti pihak manapun, namun beberapa seniman, seperti illustrator digital, animator, pelukis, dan lain-lain mulai mempermasalahkan perihal hak cipta, karena AI meniru gaya ilustrasi orang lain tanpa persetujuan mereka. AI tidak bisa menciptakan sesuatu yang orisinil, namun meniru apa yang sudah ada dan terekam. 
Salah satu gaya artistik yang dipakai dalam tren mengubah foto diri menjadi gambar adalah gaya Studio Ghibli, studio animasi di Jepang yang menciptakan film animasi yang disukai banyak orang seperti My Neighbor Totoro dan Spirited Away. Sebuah komentar dari pendiri Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, pada tahun 2016 mengenai AI kembali viral pada saat itu. Dilansir dari CNBC Indonesia, Dalam wawancara tahun 2016, Hayao Miyazaki mengkritik gambar AI. "Saya sangat jijik. Saya tidak pernah ingin memasukkan teknologi ini ke dalam karya saya," katanya.
Masalah-masalah lain kian bermunculan saat beberapa oknum yang menggunakan Generative AI untuk menghasilkan gambar mulai membagikannya di media sosial dan bernarasi seolah-olah gambar yang dibuat menggunakan AI merupakan karya mereka sendiri.
Masalahnya tidak sesederhana AI yang kurang memiliki orisinalitas. Bahkan seni yang dibuat oleh manusia tidak sepenuhnya orisinal karena dalam prosesnya, manusia terinspirasi oleh ciptaan manusia lain. Namun, tetap saja seni adalah ciptaan manusia, bukan ciptaan robot. Meskipun teknologi AI sendiri adalah ciptaan manusia, seni tidak sebaiknya dicampur tangani oleh teknologi. Seniman perlu bertahun-tahun berlatih dan berjuta-juta kali menggambar. Diperlukan dedikasi untuk menciptakan suatu. Nilai suatu karya seni berasal dari kerja keras dibaliknya. Namun, dengan adanya Generative AI, seseorang dapat dengan mudah menciptakan sesuatu dengan upaya yang tidak seberapa. Oleh karena itu, karya seni yang diciptakan oleh AI tidak layak disebut karya seni karena tidak ada nilainya sama sekali.
Selain AI bisa digunakan dalam menghasilkan gambar digital, kini Generative AI bisa digunakan untuk membuat video realistis maupun animasi yang mulus dan lancar. Aplikasi Sora adalah salah satu aplikasi terbitan OpenAI, perusahaan sama yang menciptakan ChatGPT. Beda dengan ChatGPT yang hanya bisa menghasilkan teks dan gambar, Sora AI mampu menciptakan video realistis maupun animasi yang disertakan audio mendukung. Pada 30 September 2025, OpenAI merilis Sora 2, Generative AI yang dapat membuat animasi dengan lebih mulus juga video realistis yang akurat sehingga terlihat asli.
Sora 2 merupakan lapisan berikutnya dari bola salju kekuasaan AI yang perlahan-lahan terbentuk. Masalahnya serupa dengan penggunaan AI untuk menciptakan gambar yang meniru gaya artistik Anime dan Ghibli yang sebelumnya dibahas. Sora AI dapat meniru gaya animasi seperti Disney dan gaya khas animasi Jepang yaitu Anime. Penggunaan Sora AI juga awalnya hanya digunakan untuk tren sosial media, contohnya trailer dan cuplikan film palsu yang dibuat untuk sekedar candaan dan seru-seruan. Cuplikan tersebut kemudian diunggah di TikTok, Youtube, atau Reels Instagram untuk konsumsi publik.
Tren membuat animasi menggunakan Generative AI saat digunakan sebagai candaan tidak ada salahnya. Kemungkinannya kecil bahwa seseorang akan mendapatkan keuntungan besar hanya dari pembuatan meme AI. Penggunaan AI mulai melewati batas saat beberapa oknum kreator digital mulai serius mempertimbangkan Generative AI sebagai tools animasi yang dapat menggantikan animasi tradisional. Dari sana, animator pengguna AI berharap mendapatkan keuntungan yang sama dengan animator yang tidak menggunakan AI.
“Namanya belajar Generative AI kak, bukan belajar animasi. Belajar animasi itu panjang dan berdarah-darah.” Interaksi online tersebut dimulai saat netizen yang sepertinya merupakan seorang ‘animator’ pengguna Generative AI membuat postingan tentang belajar animasi modal tools dan Canva. Tools yang dimaksud disini yaitu Generative AI. Postingan tersebut kemudian direspon oleh kreator digital lain yang mengatakan bahwa animasi sesungguhnya bukan animasi yang dibuat menggunakan AI, namun animasi yang memerlukan waktu panjang untuk menguasainya.
Sama halnya dengan ilustrasi digital, animasi perlu waktu yang lama untuk dibuat. Animasi bukan sesuatu yang bisa dipelajari dalam satu malam. Animator profesional menjalani proses yang panjang dan berdarah-darah dalam belajar animasi. Bahkan pembuatan CGI dalam film pun tidak mudah. Namun dengan AI, salah satunya Sora 2 yang dapat membuat animasi yang halus dalam hitungan menit, proses animasi menjadi begitu gampang. Animasi juga merupakan bentuk seni. Meskipun pembuatan animasi dengan AI terlihat seperti kemajuan signifikan bagi dunia hiburan, animasi buatan tangan manusia lebih bermakna dan memiliki nilai yang lebih tinggi karena terdapat perjuangan dibaliknya. Selain itu, hanya manusia sendiri yang dapat dapat mengerti ide-ide yang mereka kembangkan dalam pikiran mereka. Saat seseorang menyuruh AI untuk memvisualisasikan idenya, pasti ada banyak hal yang tidak sejalan dengan apa yang ada di otak.
Lebih disayangkan lagi adalah saat generasi muda saat ini mulai menggunakan AI dalam setiap tugas yang mereka kerjakan. Generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang saat ini menempuh edukasi agar bisa menjadi individu yang memberikan dampak positif nantinya. Namun, generasi muda sekarang banyak sekali yang mengandalkan AI dalam pengerjaan tugas. Jika menemukan tugas yang sulit dan merepotkan, ada beberapa oknum generasi muda yang memilih untuk menggunakan AI. Bahkan, tugas mudah pun dikerjakan dengan bantuan AI. Di dalam dunia perkuliahan, banyak mahasiswa pemalas yang menggunakan AI untuk mengerjakan berbagai macam bentuk tugas seperti esai, artikel ilmiah, narasi, infografis, dan poster. Sekarang, ada banyak cara supaya karya yang dibuat menggunakan AI bisa terlihat asli buatan manusia. Mahasiswa itu tidak bodoh, mereka mahir dalam menggunakan teknologi. Sayangnya, mereka lebih memilih menggunakan kemampuan itu untuk memfasilitasi rasa malas mereka.
Di tahun 2025 ini, perkembangan dalam bidang kecerdasan buatan terasa sangat cepat. Kini AI, khususnya Generative AI digunakan secara sangat luas dan penggunaannya dianggap sangat normal. Perubahan tidak terjadi dalam semalam, namun bertahap. Kekuasaan AI perlahan-lahan terbentuk seperti efek bola salju, dimulai dari hal-hal kecil seperti tren sosial media lalu tumbuh menjadi masalah yang tak bisa diabaikan: berkurangnya kreativitas manusia. Dapat diakui bahwa adanya Artificial Intelligence membawakan beragam kemajuan, terutama di bidang kesehatan dan medis. Namun, seni harus dibebaskan dari campur tangan AI.
Manusia memiliki kecerdasan yang tinggi dibandingkan makhluk lain yang ada di bumi. Dari situ, manusia menciptakan seni yang hanya unik bagi manusia. Tidak ada makhluk lain yang bisa berkreasi layaknya manusia. Sungguh diperlukan dedikasi yang tinggi, kerja keras, dan pemahaman yang tinggi dalam membuat karya seni yang bermakna. Tetapi, dengan adanya AI, manusia jadi tidak harus bekerja keras, berdedikasi, atau berlatih untuk membuat seni. Padahal, nilai dari seni itu sendiri berasal dari ide-ide unik dan kerja keras manusia. AI menjadi masalah saat hal itu menggantikan sesuatu yang seharusnya menjadi ciri khas manusia. Jangan sampai kecerdasan buatan sepenuhnyan menggantikan kecerdasan manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
