Deepfake Crime: Kejahatan AI yang Berlari Lebih Cepat daripada Hukum Indonesia
Teknologi | 2025-12-10 15:27:24Deepfake sebagai kejahatan identitas
Deepfake merupakan teknologi kecerdasan buatan yang memanfaatkan data biometrik seperti wajah dan suara untukmenghasilkan konten digital yang tampak seolah-olah asli. Teknologi ini dapat digunakan secara legal untuk:
•film
•dubbing
•parodi
•iklan
•aktivitas pendidikan.
Namun deepfake menjadi tindak pidana ketika:
•digunakan untuk pornografi non-konsensual
•pemerasan
•penipuan
•manipulasipolitik
•pencemaran nama baik
•pencurianidentitas
Menurut Deeptrace Labs (2023), lebih dari 96% kontendeepfake di internet merupakan konten seksual, dan sekitar73% korbannya adalah perempuan muda.
Lonjakan penyalahgunaan deepfake di Indonesia
BSSN (2024) mencatat peningkatan 53% laporan manipulasikonten digital sejak 2022. Kominfo juga menindak lebih dari1,6 juta konten bermasalah pada 2023–2024, termasukimpersonasi, pornografi, dan penipuan berbasis AI. Namunsampai hari ini belum ada ketentuan hukum yang secara spesifik menyebut istilah deepfake.
Akibatnya, aparat penegak hukum hanya mengandalkan pasal yang dianggap mendekati, seperti:
UU ITE
•Pasal 27 ayat (3) (pencemaran nama baik)
• Pasal 28 ayat (1) (berita bohong)
• Pasal 35 (pemalsuan dokumen elektronik)
UU Pornografi
•Pasal 4 terkait konten pornografi digital
UU Perlindungan Data Pribadi
•perlindungan data biometrik
Seluruh ketentuan tersebut belum memuat unsur rekayasa AI secara tegas. Hal ini menciptakan kondisi rechtsvacuum sertalex imperfecta, yaitu terdapat perbuatan yang merugikan tetapi tidak memiliki norma pidana khusus.
Masalah utama: legal gap dan evidence gap
Penanganan deepfake bukan hanya terhambat pada regulasi, tetapi juga pada pembuktian. Pemeriksaan digital berbasis AI memerlukan:
•unitforensik
•perangkat deteksi
•analisis teknis
•serta kerjasama lintas negara
Oxford Internet Institute (2024) menyebut fenomena ini sebagai criminal evidence void, yakni bukti ada tetapi sulit diverifikasi secara yuridis.
Dampak psikologis bagi korban
Studi Stanford CyberPsychology (2024) menunjukkan:
•korban mengalami tingkat kecemasan tiga kali lebih tinggi
•40% mengalami tekanan sosial
•1 dari 4 korban mengalami cyber bullying lanjutan.
Deepfake bukan hanya menyerang nama baik seseorang, tetapi merusak identitas personal dan rasa aman individu.
Perbandingan internasional
Beberapa negara telah lebih dulu memiliki aturan khusus:
Negara
Regulasi
Uni Eropa
EU AI Act (2024)
China
Cyberspace Administration Regulation (2023)
AS
Deepfake Accountability Act
Inggris
Online Safety Bill
Indonesia belum memiliki satu pun regulasi khusus terkait deepfake.
Prediksi ancaman global
MIT (2024) memperkirakan bahwa pada tahun 2026, 50% konten video digital akan mengandung manipulasi AI. Cybersecurity Ventures memproyeksikan kerugian ekonomi akibat deepfake mencapai USD 25 miliar pada 2030.
Rekomendasi regulasi
1.Pembentukan norma khusus terkait deepfake
2.Unitf orensik AI kepolisian
3.Kerjasama internasional melalui mutual legal assistance 4.Takedown 1 jam untuk platform digital 5.Bantuan hukum dan pendampingan psikologis korban
6.Peningkatan literasi digital publik
Penutup
Persoalan utama deepfake bukan sekadar perkembangan teknologi, tetapi kesenjangan antara inovasi dan respons hukum. Deepfake merupakan bentuk kejahatan identitas yang paling personal, karena menyasar wajah, suara, dan identitas seseorang. Tanpa regulasi yang memadai, masyarakat akan menjadi pihak paling rentan terhadap penyalahgunaan teknologi ini.
Referensi
•DeeptraceLabs (2023)
•MIT AI Forecasting (2024)•Interpol Cybercrime Report (2023)•EuropolThreat Assessment (2024)•BSSN Cybersecurity Indonesia (2024)•Cybersecurity Ventures (2024)•Kominfo(2022–2024)•Oxford Internet Institute (2024)•Stanford CyberPsychology (2024)•Microsoft Threat Intelligence (2024)•BBC News (2023)
Ilham Wandya Pradana, Mahasiswa Hukum Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
