Brutitas Dunia Maya: Meningkatnya Kasus Cyberbullying di Kalangan Anak Muda
Edukasi | 2025-12-08 13:26:49Pesatnya perkembangan media sosial telah mengubah ruang digital menjadi tempat yang hidup, dinamis, sekaligus rentan. Di balik kreativitas dan kebebasan berekspresi, muncul ancaman bernama cyberbullying, fenomena yang semakin akrab di kalangan mahasiswa. Melalui Project Kebangsaan yang mengusung tema 'Dekadensi Moral', penelitian ini menelusuri pengalaman dan persepsi mahasiswa Universitas Airlangga terhadap cyberbullying.
Survei dan wawancara terhadap 25 responden menunjukkan bahwa 70,9% pernah melihat atau mengalami perundungan daring, sementara mayoritas menyadari pentingnya menjaga etika digital dan merasa memiliki tanggung jawab moral dalam menciptakan ruang maya yang sehat. Meski kesadaran tinggi, masih ada mahasiswa yang belum memahami mekanisme pelaporan kasus. Temuan ini menegaskan perlunya literasi digital yang lebih kuat, akses pelaporan yang jelas, serta kolaborasi berbagai pihak untuk membangun ekosistem digital yang aman, empatik, dan manusiawi.
Di era yang serba digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi anak muda. Data dari Internet World Stats menunjukkan bahwa pada November 2015, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 78 juta orang dan menduduki peringkat ke-empat terbanyak di Asia. Platform seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), hingga forum anonim memberikan ruang luas bagi generasi muda untuk berekspresi, membangun jejaring, dan membentuk identitas diri. Namun, perkembangan digital yang pesat juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya kasus cyberbullying.
Cyberbullying dapat diartikan sebagai tindakan menyakiti orang lain melalui teknologi digital yang dilakukan secara sengaja dan berulang. Bentuknya bisa berupa hinaan, penyebaran rumor, body-shaming, pengunggahan foto tanpa izin, hingga doxxing yakni membuka data pribadi seseorang tanpa persetujuan. Fenomena ini memengaruhi rasa percaya diri, kesehatan mental, perkembangan emosional, serta rasa aman para penggunanya dalam bermedia sosial. Tidak seperti perundungan konvensional yang terbatas ruang dan waktu, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan oleh siapa saja, bahkan tanpa identitas yang jelas. Budaya konsumsi konten yang cepat dapat memperparah keadaan ini.
Banyak pengguna media sosial terutama generasi muda/gen z, menuliskan komentar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Anonimitas sering kali membuat seseorang merasa bebas dari hukuman, sehingga meluapkan emosi tanpa empati. Dampaknya, korban bisa mengalami stres berkepanjangan, menarik diri dari lingkungan, hingga depresi. Jejak digital yang sulit dihapus juga membuat tekanan psikologis berlangsung lebih lama. Ironisnya, fenomena ini sering dianggap sepele dengan alasan seperti “cuma bercanda” atau “namanya juga internet”.
Sayangnya, isu ini masih sering dianggap remeh. Ungkapan seperti “cuma bercanda” atau “namanya juga internet” menjadi bentuk pembenaran yang justru memperburuk budaya digital. Ruang maya yang seharusnya menjadi tempat berkembang, berubah menjadi arena perundungan massal.
Dari survey yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa fenomena ini dekat dengan kehidupan mahasiswa. Sebanyak 70,9% responden mengaku pernah melihat atau mengalami cyberbullying. Wawancara juga memperkuat temuan ini, misalnya melalui contoh ejekan di kolom komentar, penyebaran rumor dari akun anonim, hingga konflik di grup kelas. Ini menunjukkan bahwa cyberbullying bukan hal asing di lingkungan mahasiswa. Kesadaran etika digital mahasiswa Unair juga tergolong tinggi.
Sebanyak 91,6% responden menilai pentingnya menjaga etika dalam berkomentar, dan angka yang sama menyatakan bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang digital yang positif. Seluruh responden juga percaya bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam menekan tindakan cyberbullying, bahkan 91,7% bersedia menegur atau melaporkan ketika melihat tindakan tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat celah yang perlu diperbaiki.
Sebanyak 16,6% responden mengaku belum mengetahui mekanisme pelaporan ketika menjadi korban. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan sosialisasi terkait jalur pelaporan formal, layanan pendampingan, dan sistem perlindungan yang tersedia di lingkungan kampus. Upaya untuk mengatasi cyberbullying, tidak bisa hanya mengandalkan regulasi dari pemerintah. Diperlukan kolaborasi antara orang tua, teman, Universitas, komunitas digital, serta platform media sosial.
Literasi digital, etika bermedia sosial, serta kemampuan berpikir kritis harus terus ditanamkan. Platform digital juga perlu memperketat moderasi dan memperjelas mekanisme pelaporan. Kampanye edukatif pun harus terus digencarkan agar budaya digital yang manusiawi dapat terbentuk.
Fenomena cyberbullying semakin nyata di tengah perkembangan media sosial yang pesat. Meskipun platform digital memberi ruang bagi anak muda untuk berekspresi dan membangun relasi, sifatnya yang bebas dan anonim juga membuka peluang terjadinya perundungan. Temuan Project Kebangsaan Kelompok 9 menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa Universitas Airlangga pernah melihat atau mengalami cyberbullying, sehingga masalah ini sangat melekat di kehidupan mereka.
Melalui survei dan wawancara terhadap 25 responden, terlihat bahwa tingkat kesadaran mahasiswa mengenai etika digital tergolong tinggi. Mayoritas memahami pentingnya menjaga sikap saat berkomentar serta merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat. Meski demikian, masih ada sebagian kecil mahasiswa yang belum mengetahui mekanisme pelaporan ketika menjadi korban, sehingga aspek ini perlu mendapat perhatian lebih.
Secara keseluruhan, cyberbullying bukan hanya masalah antarindividu, tetapi merupakan persoalan budaya digital yang membutuhkan kesadaran, empati, dan kerja sama dari berbagai pihak untuk menanganinya. Dunia maya mungkin tidak memiliki batas, tetapi etika dan rasa kemanusiaan seharusnya tetap menjadi pagar utama dalam setiap interaksi.
Ditulis oleh: Anggun Dwi Novita Sari (mahasiswa Universitas Airlangga)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
