Capek Dikit Belanja: Self-Reward atau Impulsif?
Gaya Hidup | 2025-12-05 18:31:48
Self-reward sekarang jadi kebiasaan banyak orang. Setelah seminggu capek kuliah, kerja, atau jenuh dengan rutinitas, memberi hadiah kecil untuk diri sendiri itu rasanya sah-sah saja. Namanya juga bentuk apresiasi atas usaha yang sudah dijalani. Namun, belakangan maknanya terasa melebar. Sedikit lelah saja kadang langsung diartikan sebagai alasan untuk membeli sesuatu, apa pun bentuknya.
Sebenarnya, self-reward bukan hal yang perlu dilarang. Setiap orang berhak memberi jeda dan ruang bagi dirinya. Yang jadi persoalan adalah ketika rasa capek dijadikan tiket bebas untuk berbelanja apa pun yang kebetulan lewat di fyp baik tiktok atau media sosial lain. Perlahan, hadiah kecil berubah menjadi pola pengeluaran yang makin sulit dibatasi.
Media sosial juga memberi dorongan yang tidak kecil. Kita terus melihat orang lain merayakan pencapaiannya—entah lewat konser, produk edisi spesial, atau healing ke tempat baru. Lama-lama muncul perasaan seolah kita juga harus melakukan hal yang sama agar dianggap “berhasil menghargai diri”. Dari sudut pandang saya, inilah titik di mana batas antara kebutuhan, keinginan, dan pelarian mulai kabur. Self-reward yang tadinya sederhana malah berubah menjadi respons cepat setiap kali penat, dan sering berakhir dengan rasa menyesal saat melihat saldo menipis.
Self-reward tetap boleh; bahkan penting untuk menjaga diri tetap waras. Hanya saja, porsinya harus sesuai. Tidak semua kelelahan perlu dibalas dengan pengeluaran besar. Kadang self-reward cukup dengan hal kecil yang membuat hati lebih ringan tanpa mengganggu kondisi keuangan. Intinya sederhana: apresiasi diri itu baik, asal tidak sampai membuat kita kehilangan kendali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
