Penyalahgunaan Trotoar: Tantangan Penataan Ruang Publik di Perkotaan Indonesia
Edukasi | 2025-12-08 13:18:12Dalam ruang publik kota, terdapat berbagai elemen penting yang menunjang aktivitas masyarakat sehari-hari. Salah satu elemen dasar yang sering dijumpai adalah jalur pejalan kaki atau trotoar. Fasilitas ini memiliki peran penting dalam mendukung mobilitas warga karena berfungsi sebagai ruang aman dan nyaman bagi orang yang bepergian dengan berjalan kaki. Namun, kondisi ideal tersebut masih sulit ditemukan di banyak kota di Indonesia. Trotoar yang seharusnya bersih, tertata, dan bebas dari hambatan justru sering kali disalahgunakan untuk kepentingan lain, bahkan tidak dirawat sebagaimana mestinya. Akibatnya, kenyamanan, keamanan, serta kesejahteraan masyarakat yang menggunakan trotoar menjadi terganggu.
https://share.google/IzmX40tM9Pv9rb1YU" />
Trotoar sejatinya merupakan bagian vital dari infrastruktur perkotaan. Keberadaannya bukan sekadar pelengkap jalan raya, tetapi menjadi simbol kepedulian sebuah kota terhadap keselamatan dan kenyamanan warganya. Di kota-kota besar, trotoar semestinya berfungsi sebagai ruang yang memprioritaskan pejalan kaki agar mereka dapat berpindah tempat dengan aman tanpa harus bersaing dengan kendaraan bermotor. Sayangnya, fungsi ideal tersebut sering kali tidak terwujud di lapangan. Banyak trotoar justru beralih fungsi menjadi tempat berjualan bagi pedagang kaki lima (PKL), lokasi parkir kendaraan, area penyimpanan material bangunan, hingga jalur alternatif bagi pengendara motor ketika jalanan macet. Situasi semacam ini jelas menimbulkan berbagai masalah, mulai dari terganggunya aktivitas pejalan kaki, meningkatnya risiko kecelakaan, hingga rusaknya tatanan ruang kota yang seharusnya tertib dan manusiawi.
Penyalahgunaan trotoar ini tidak terjadi tanpa sebab. Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakanginya. Pertama adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan ruang publik. Banyak pelanggaran yang dibiarkan begitu saja tanpa tindakan tegas dari pihak berwenang, sehingga masyarakat menjadi terbiasa memanfaatkan trotoar untuk kepentingan pribadi. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat mengenai fungsi dan peran trotoar juga turut memperburuk keadaan. Sebagian orang masih memandang trotoar sebagai ruang kosong yang bisa digunakan sesuka hati, bukan sebagai fasilitas umum yang harus dijaga bersama. Ketiga, keterbatasan ruang bagi sektor informal, terutama bagi para PKL, membuat mereka terpaksa memanfaatkan trotoar sebagai tempat berdagang karena tidak memiliki alternatif lokasi yang memadai.
Dampak dari kondisi ini sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Ketika trotoar dipenuhi kendaraan parkir atau lapak dagangan, pejalan kaki terpaksa berjalan di bahu jalan atau di antara kendaraan yang melintas. Hal ini tentu berisiko tinggi terhadap keselamatan mereka. Selain itu, situasi semacam ini juga menurunkan minat masyarakat untuk berjalan kaki, padahal berjalan kaki merupakan aktivitas yang menyehatkan dan ramah lingkungan. Ketika kebiasaan berjalan kaki menurun, kota kehilangan salah satu karakter pentingnya sebagai ruang yang hidup dan inklusif. Citra kota pun menurun, karena ruang publik yang seharusnya merepresentasikan keteraturan justru menjadi bukti lemahnya pengelolaan dan kesadaran sosial.
Dampak lainnya bersifat sosial dan psikologis. Ketika masyarakat merasa tidak aman dan nyaman berjalan kaki, tingkat stres mobilitas meningkat. Pejalan kaki menjadi lebih mudah lelah secara fisik dan mental karena harus terus waspada terhadap kendaraan di sekitar mereka. Selain itu, interaksi sosial yang biasanya terjadi di ruang publik juga berkurang karena orang enggan menggunakan trotoar untuk beraktivitas. Padahal, trotoar tidak hanya berfungsi sebagai jalur pejalan kaki, tetapi juga sebagai ruang interaksi sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Dengan rusaknya fungsi ini, kualitas kehidupan sosial di perkotaan ikut menurun.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, diperlukan upaya yang menyeluruh dan terkoordinasi dari berbagai pihak. Pemerintah memiliki peran utama dalam penataan dan pengawasan penggunaan trotoar. Penegakan hukum perlu diperkuat dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar, baik individu maupun pelaku usaha. Langkah ini penting untuk menimbulkan efek jera dan mendorong kepatuhan terhadap aturan. Selain penegakan hukum, pemerintah juga harus memberikan solusi yang realistis bagi sektor informal. PKL, misalnya, perlu ditata dan direlokasi ke lokasi yang lebih sesuai tanpa menghambat kegiatan ekonomi mereka. Dengan begitu, keseimbangan antara ketertiban ruang publik dan keberlanjutan ekonomi masyarakat dapat tercapai.
Selain kebijakan dari pemerintah, edukasi publik dan kampanye kesadaran masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu memahami bahwa trotoar adalah fasilitas bersama yang harus dijaga dan dihormati. Kesadaran ini dapat dibangun melalui kampanye sosial, program pendidikan, maupun pelibatan komunitas lokal dalam menjaga kebersihan dan ketertiban ruang publik. Peran serta masyarakat menjadi kunci agar perubahan dapat berlangsung secara berkelanjutan, bukan sekadar karena penegakan aturan sementara.
Di sisi lain, perhatian terhadap desain dan kualitas infrastruktur trotoar juga tidak kalah penting. Banyak trotoar di kota-kota besar yang rusak, sempit, atau tidak ramah bagi pengguna disabilitas. Pemerintah perlu melakukan perbaikan dan penataan ulang agar trotoar menjadi lebih inklusif dan nyaman. Pembangunan trotoar sebaiknya memperhatikan aspek keselamatan, aksesibilitas, dan estetika, seperti penyediaan jalur landai untuk kursi roda, tempat duduk bagi pejalan kaki yang lelah, penerangan yang memadai, serta pohon peneduh agar suasana berjalan lebih nyaman. Dengan desain yang baik, trotoar tidak hanya menjadi jalur fungsional, tetapi juga menjadi ruang publik yang menyenangkan untuk digunakan.
Keberhasilan mengembalikan fungsi trotoar tidak bisa dicapai oleh satu pihak saja. Kolaborasi lintas sektor menjadi hal yang sangat penting. Pemerintah, masyarakat, dan organisasi sosial perlu bekerja sama untuk menciptakan kota yang lebih manusiawi. Ketika semua pihak merasa memiliki tanggung jawab yang sama, maka perubahan positif akan lebih mudah terwujud.
Pada akhirnya, trotoar yang digunakan sesuai fungsinya bukan hanya mencerminkan keteraturan sebuah kota, tetapi juga menggambarkan nilai kemanusiaan dan peradaban masyarakatnya. Kota yang menghargai hak pejalan kaki menunjukkan bahwa ia menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem mobilitasnya, bukan sekadar kendaraan. Dengan trotoar yang tertata, aman, dan nyaman, kota akan menjadi ruang hidup yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan sebuah tempat di mana setiap langkah pejalan kaki benar-benar dihargai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
