Banjir Aceh: Ketika Aliran Air Dihalangi Matematika Mengingatkan tentang Keseimbangan Alam
Eduaksi | 2025-12-08 09:26:59Ditulis oleh : Mirna Riazil Jannah
Akhir November 2025, Aceh dilanda hujan deras yang tak kunjung reda. Pada tanggal 26 November 2025, wilayah Aceh mengalami bencana dengan terjadinya banjir serta tanah longsor. Banyak bangunan, rumah, dan jalan mengalami kerusakan parah, sementara jembatan-jembatan putus mengakibatkan terputusnya akses dan mengganggu aktivitas ekonomi serta pendidikan masyarakat. Bahkan, empat desa dinyatakan hilang akibat terjangan arus deras, yaitu Sawang, Jambui, Bireuen, dan Peusangan, seperti yang disampaikan oleh Gubernur Aceh.
Begitu cepat dan hebatnya pergerakan air sehingga menghancurkan daerah di Aceh. Keindahan alam Aceh yang sudah dikenal baik di dalam maupun luar negeri, seperti tanah Gayo, Aceh Tengah, bahkan Takengon yang dijuluki Swissnya Aceh serta terkenal dengan Kopi Gayo, kini telah hancur, tempat wisata rusak, bahkan Danau Lut Tawar dipenuhi dengan kayu-kayu.
Banjir yang melanda Aceh mengingatkan kita bahwa bencana tak hanya disebabkan oleh perubahan cuaca ekstrem, tetapi juga dari terganggunya keseimbangan alam. Sungai sebagai bagian penting dari ekosistem memiliki aliran yang sudah terbentuk alami selama ratusan hingga ribuan tahun, mirip dengan jalur jelajah gajah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika manusia menghentikan, mengubah, atau merebut area yang telah menjadi pola alami tersebut, maka dampak yang muncul adalah kerusakan, konflik, dan bencana. Dalam hal ini, matematika memberikan analisis yang logis untuk memahami pola-pola, hubungan sebab akibat, serta perhitungan risiko yang sering diabaikan dalam proses pembangunan.
Sungai-sungai di Aceh telah memiliki rute aliran mereka selama beratus-ratus tahun. Volume air, laju arus, tempat belokan, hingga area genangan semuanya mengikuti skema alami yang bisa dijelaskan dengan model matematika seperti aliran fluida, persamaan kontinuitas, dan konsep kemiringan (gradien lereng). Setiap kali sungai meluap, kita sering merasa terkejut, padahal secara matematis, jika variabel-variabelnya tetap sama, sungai menyempit, curah hujan tinggi, dan sistem drainase tidak memadai, maka hasil akhirnya pasti konsisten. Ini adalah contoh sederhana dari hubungan sebab dan akibat: jika input tidak berubah, output pun tidak akan berubah. Di sini, matematika tidak hanya berisi angka, tetapi juga merupakan cara berpikir untuk memahami fenomena yang terjadi.
Banjir yang melanda Aceh dapat memberikan pelajaran berharga tentang pengaturan ruang. Banyak bangunan yang berdiri di daerah berisiko, di tepi sungai, bahkan mengikis bantaran sungai, di atas aliran sungai yang sudah tua (oxbow), serta kawasan resapan air. Hal ini menyebabkan penyempitan lebar sungai, memperkecil alur, dan menurunkan kapasitas sungai untuk menampung air. Saat hujan lebat turun, air berupaya untuk menemukan jalurnya, dan sering kali jalur tersebut berada di lokasi yang kini telah menjadi pemukiman. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa banjir tidak hanya disebabkan oleh hujan yang lebat, tetapi juga oleh hilangnya ruang bagi aliran air.
Air Kembali ke Jalurnya: Pesan Alam yang Tercermin dalam Perhitungan
Sungai tidak mengalir tanpa arah. Ia mengikuti kontur lembah, kemiringan, dan struktur tanah serta pengaruh gravitasi. Dalam kajian geomorfologi, sungai selalu berusaha menemukan rute dengan rintangan paling sedikit. Secara matematis, prinsip ini mirip dengan konsep optimasi, di mana air memilih perjalanan yang memerlukan energi terkecil. Oleh karena itu, setiap kali Aceh mengalami banjir, seringkali terdengar pernyataan bahwa “air sedang berusaha menemukan jalurnya kembali”. Dalam konteks ilmiah, pernyataan tersebut akurat. Saat manusia merubah jalur sungai, membangunnya dengan struktur, atau mempersempitnya, air tetap mengikuti hukum matematikanya sendiri: mencari kemiringan terendah dan mengalir melalui jalur yang secara historis memang sudah ada. Dengan kata lain, air tidak dapat dibohongi oleh beton, bangunan, atau penghalang.
Prinsip matematika fluida selalu berlaku.
Belajar dari Aceh untuk Masa Depan yang Lebih Bijak
Banjir yang terjadi di Aceh bukan hanya sekedar bencana, melainkan sebuah peringatan dari alam atas perubahan yang mengabaikan prinsip-prinsip geologi, hidrologi, fisika dan matematika. Sungai memiliki jalurnya sendiri. Hutan memiliki perannya masing-masing. Ketika salah satu terganggu, hasilnya akan bersifat matematis: pasti akan terjadi dan dapat diukur.
Untuk menghindari terjadinya banjir berulang, cara yang diambil tidak cukup hanya dengan meningkatkan tinggi tanggul atau memperdalam aliran sungai. Yang lebih diperlukan adalah mengembalikan area resapan air, memperbaiki tata ruang, mengontrol perluasan perkebunan kelapa sawit, dan menerapkan matematika sebagai dasar perencanaan, bukan sekadar teori belaka. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
