Kenapa Hidup Orang Lain Terlihat Lebih Menarik dari Hidup Kita?
Gaya Hidup | 2025-12-08 09:20:42Coba seberapa sering kamu buka Instagram atau TikTok hanya untuk “scroll lihat lihat,” tapi malah berakhir dengan perasaan yang ga nyaman? Ngeliat teman lagi liburan, nongkrong di kafe baru, atau nonton konser, sementara kamu cuma di rumah sambil rebahan, rasanya kayak ketinggalan. Nah perasaan itu disebut FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out.
FOMO bukan hal baru, tapi di era media sosial, gejalanya semakin jelas. Hampir setiap orang sekarang hidup berdampingan dengan layar ponsel. Dari bangun tidur sampai sebelum tidur, jari kita refleks membuka aplikasi cuma buat ngecek notifikasi, lihat story, atau tren terbaru. Seolah olah kalau kita nggak buka sebentar aja,kita bakal ketinggalan sesuatu yang penting. Takut nggak tahu, takut nggak ikut, takut nggak terlihat.
Gen Z tumbuh di tengah dunia digital yang serba cepat dan terbuka. Media sosial bukan lagi tempat berbagi cerita, tapi juga ruang untuk menunjukkan diri. Foto foto yang diunggah, caption yang dipilih dengan hati hati, hingga momen yang sengaja dibingkai sempurna, semua jadi bagian dari cara kita untuk membentuk citra diri.
Masalahnya, yang terlihat di layar belum tentu sama dengan kenyataan. Kebanyakan orang hanya menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, hasil dari banyak kegagalan dan proses panjang yang nggak pernah diceritakan. Tapi kita jarang mengingat itu. Kita malah sibuk membandingkan hidup kita dengan dunia maya orang lain yang tampak selalu bahagia. Dari situ, tekanan muncul. Kita merasa harus ikut tren, harus terlihat aktif, harus punya sesuatu untuk ditunjukkan. Takut dibilang ketinggalan, takut dianggap nggak punya kehidupan yang menarik. Padahal, nggak ada yang salah dengan hidup yang biasa biasa aja.
FOMO nggak hanya soal iri atau penasaran, tapi bisa berpengaruh besar terhadap cara kita berpikir dan merasakan sesuatu. Perasaan takut ketinggalan bisa berubah jadi kecemasan yang halus tapi nyata. Kita jadi gampang gelisah, kehilangan fokus, bahkan nggak tahu lagi apa yang benar benar bikin kita bahagia.
Fenomena ini juga sering bikin orang kehilangan arah. lupa dengan tujuan hidup sendiri, dan malah sibuk mengejar hidup versi orang lain. Seseorang bisa merasa gagal hanya karena belum punya hal yang dimiliki orang lain, padahal jalan hidup setiap orang itu beda.
Selain itu, FOMO juga bisa mendorong pola hidup konsumtif. Kita jadi mudah tergoda membeli barang yang sedang tren, ikut acara yang sedang ramai, atau nongkrong di tempat hits bukan karena kita benar-benar mau, tapi karena takut terlihat nggak update. Semua itu dilakukan biar nggak merasa tertinggal, padahal sering kali malah bikin kita capek sendiri.
Satu hal yang perlu kita sadari, dunia maya kadang bisa sangat berisik. Semua orang ingin dilihat, semua orang ingin didengar, tapi nggak semuanya jujur tentang apa yang mereka rasakan. Di balik senyum di foto, bisa jadi ada rasa lelah yang nggak terlihat. Tapi kita nggak tahu itu, karena yang kita lihat cuma yang bagus bagus aja.
Dari sinilah muncul pemikiran bahwa hidup orang lain selalu lebih menarik dari hidup kita. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah semua orang sedang berjuang dengan caranya masing masing. Hanya saja, perjuangan itu jarang diunggah ke media sosial.
Mengatasi FOMO bukan berarti harus menghapus semua media sosial atau menghindar dari media sosial. Teknologi digital udah jadi bagian dari kehidupan, dan itu nggak salah. Yang perlu kita lakukan adalah tahu batasnya, kapan harus terhubung dan kapan harus istirahat.
Coba mulai dengan hal kecil. Batasi waktu online, nikmati kegiatan tanpa harus merekam atau mengunggah semuanya, dan lebih banyak bersyukur atas apa yang sudah dimiliki. Nggak semua momen harus dibagikan, karena nggak semua hal butuh validasi orang lain. Kadang hal terbaik justru kita simpan diam diam.
Hidup tidak harus selalu terlihat sibuk, sukses, atau menyenangkan di mata orang lain. Yang lebih penting adalah bagaimana kita merasa cukup, menikmati proses dan menemukan makna dari hal hal sederhana yang sering kita lewatkan.
Kita sering takut ketinggalan sesuatu di luar sana, tapi lupa menikmati apa yang sedang kita punya di sini. Kita sibuk menunjukkan kebahagian di media sosial, tapi lupa dengan apa yang benar benar di rasakan. Padahal, hidup itu bukan untuk belomba lomba siapa yang lebih update, tapi tentang bagaimana kita bisa tetap mensyukuri apapun yang terjadi di hidup kita, karena bisa jadi banyak orang di luar sana yang mengharapkan hidup seperti kita.
Bahagia itu nggak perlu bukti. Kadang, cukup dengan bisa tersenyum tanpa alasan pun, kamu sudah jauh lebih bahagia daripada yang kamu lihat di media sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
