Anak Bukan Komoditas: Fenomena Eksploitasi di Media Sosial pada Era Digital
Trend | 2025-12-08 03:11:38
Di era digital, setiap momen dalam kehidupan dapat direkam dan dibagikan dengan mudah. Media sosial telah mengubah cara orang tua dalam mengabadikan tumbuh kembang anak, bukan lagi melalui album foto keluarga, kini banyak orang tua lebih memilih mendokumentasikannya melalui unggahan di media sosial. Langkah kecil pertama anak, senyuman, tangisan, hingga celotehan polos mereka kini bukan hanyaa menjadi memori keluarga, melainkan juga menjadi tontonan publik. Sekilas, hal ini tampak wajar. Bukankah setiap orang tua ingin membagikan kebahagiaan mereka? Bukankah membagikan aktivitas anak adalah bentuk cinta dan kebanggaan?
Namun, di balik itu, ada dilema besar yang jarang disadari. Ketika kamera menjadi lebih penting daripada keselamatan, ketika viral lebih diutamakan daripada kenyamanan anak, maka yang terjadi bukan lagi sekadar berbagi, melainkan eksploitasi. Anak-anak perlahan diperlakukan layaknya komoditas—sesuatu yang bisa dipasarkan dan mendapatkan keuntungan.
Fenomena anak viral di media sosial kini semakin marak. Mulai dari balita yang tingkah lucunya mengundang tawa, anak sekolah dasar yang pandai menari atau menyanyi, ataupun bayi yang sekadar melakukan hal-hal spontan namun berhasil menarik perhatian jutaan penonton.
Fenomena ini semakin kuat karena dorongan industri digital. Anak-anak yang viral sering kali mendapatkan tawaran endorsement, diundang ke acara televisi, bahkan dijadikan brand ambassador. Bagi sebagian orang tua, hal ini dianggap sebagai peluang emas. Di titik ini, anak bukan lagi sekadar subjek yang dilindungi, melainkan objek ekonomi. Mereka diperlakukan layaknya komoditas digital—diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi publik.
Hal yang membuat miris adalah ketika orang tua lebih sibuk merekam daripada menjaga anaknya. Saat anak melakukan hal berbahaya, seperti memasukkan benda asing ke mulut, berlari di tempat beresiko, atau bermain di area yang tidak aman—bukannya segera menghentikan sang anak, orang tua justru tetap sibuk merekam dan hanya menegurnya melalui perkataan tanpa tindakan cepat untuk menghentikan aktivitas berbahaya itu. Hal ini dilakukan demi mendapatkan konten yang dianggap “unik” atau “menghibur” oleh publik, sehingga mendapatkan ribuan atau bahkan jutaan penonton.
Di kolom komentar, publik pun sering terbagi menjadi dua pihak. Ada yang menegur dengan niat baik, mengingatkan bahwa tindakan yang dilakukan sang anak berbahaya dan dapat membahayakannya. Namun ironisnya, pihak yang mengingatkan justru dihujat. Dalih yang muncul: “namanya juga anak kecil.” Padahal, anak-anak belum mampu memahami risiko. Mereka hanya bereksplorasi sesuai naluri usia dini, tanpa tahu batas aman. Sebagai orang tua, seharusnya menghentikan anak anak, bukan hanya sekadar merekam demi konten semata.
Di sinilah masalah besar: anak-anak dijadikan objek tontonan, sementara keselamatan mereka diabaikan. Viral lebih penting daripada perlindungan. Popularitas mengalahkan tanggung jawab.
Fenomena ini menunjukkan betapa dangkalnya budaya digital kita. Banyak orang lebih menghargai hiburan instan daripada keselamatan anak. Konten berbahaya justru dianggap lucu dan menggemaskan. Sementara itu, netizen yang mencoba bersikap kritis sering dicap terlalu serius atau dianggap tidak bisa menikmati hiburan.
Padahal, yang seharusnya dinikmati dari dunia digital bukanlah risiko yang dibungkus sebagai hiburan, melainkan konten yang tetap memanusiakan anak sebagai individu yang harus dilindungi. Di sinilah pentingnya perubahan cara pandang, baik dari orang tua, masyarakat, maupun para pembuat dan penikmat konten.
Di era digital seperti sekarang, melindungi anak dari eksploitasi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan tanggung jawab bersama. Peran orang tua sangat penting untuk menempatkan anak sebagai individu yang harus dijaga martabat dan keamanannya, bukan sebagai alat demi popularitas sesaat.
Masyarakat juga punya peran besar melalui cara dalam menyikapi konten. Tidak cukup hanya menonton, kita perlu belajar lebih kritis terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Literasi digital harus terus diperkuat agar semakin banyak orang memahami batas antara berbagi kebahagiaan dan melanggar hak anak.
Pemerintah dan lembaga terkait pun memiliki posisi strategis dalam menghadirkan regulasi yang tegas dan berpihak pada perlindungan anak di ruang digital. Jika semua pihak bergerak bersama, dunia digital tidak harus menjadi ancaman. Ia bisa menjadi ruang yang lebih sehat, aman, dan ramah bagi tumbuh kembang anak.
Pada akhirnya, anak-anak berhak atas masa kecil yang utuh—masa kecil yang diisi dengan tawa, ruang bermain, dan rasa aman, bukan tekanan untuk tampil dan memenuhi ekspektasi dunia maya.
Ditulis oleh Awwalul Jauharotul Lama’ah, mahasiswa Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
