Gen Z dan Krisis Etika Digital: Saat Pancasila Hanya Jadi Pajangan
Edukasi | 2025-12-07 22:23:53
Generasi Z kerap diperkenalkan sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi. Kita tumbuh dalam lingkungan yang serba terhubung, serba cepat, dan serba instan. Hampir semua aspek hidup mengandalkan layar dan jaringan internet. Identitas digital bahkan bisa jadi lebih hidup daripada diri kita di dunia nyata. Tapi justru di tengah kemudahan itu, muncul satu pertanyaan yang menggelitik: apakah generasi yang paling terampil menggunakan teknologi ini juga menjadi generasi yang paling siap secara moral? Dari pertanyaan itu, lahir kegelisahanuntuk meninjau kembali bagaimana nilai-nilai Pancasila di implementasikan oleh generasi kita sendiri.Pancasila sering kali hanya berhenti pada posisi simbolik. Ia dihafal, diucapkan, dan ditempelkan di dinding-dinding instansi publik, namun jarang dihayati dalam aktivitas yang semakin berpusat pada dunia digital. Padahal, dinamika digital yang cepat dan tidak terkontrol seharusnya menjadi alasan utama mengapa Pancasila justru perlu dihidupkan. Nilai-nilai yang menjadi pondasi berbangsa itu dapat berperan sebagai kompas moral ketika batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab makin tipis. Fenomena yang tampak belakangan ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan moral. Ruang digital yang terbuka lebar ternyata menjadi tempat yang paling rentan terhadap distorsi nilai. Ada tiga problem yang semakin menguat dan menunjukkan betapa perlunya Pancasila hadir bukan hanya sebagai konsep, tetapi sebagai praktik.Problem pertama terlihat dari meningkatnya intoleransi digital. Media sosial yang awalnya dimaksudkan sebagai ruang interaksi kini berubah menjadi arena yang rentan terhadap penyebaran kebencian, terutama terkait isu agama. Kita melihat bagaimana informasi palsu, provokasi bernuansa SARA, dan pemahaman agama yang disempitkan sering kali menyebar tanpa kendali. Algoritma yang memprioritaskan konten sesuai preferensi pengguna menciptakan ruang gema yang membuat seseorang hanya berinteraksi dengan pandangan yang mirip dengannya. Akibatnya, muncul keyakinan sempit yang mudah dibenturkan dengan pihak yang berbeda. Di titik ini, Sila Pertama sebenarnya sangat relevan karena mengajarkan kedamaian dan kerukunan antar umat beragama. Namun kenyataannya, nilai tersebut justru tersingkir oleh sentimen emosional yang menguasai ruang digital. Problem kedua adalah krisis etika dan privasi. Keberadaan internet seharusnya membuka akses informasi secara lebih merata, tetapi justru menimbulkan praktik yang tidak manusiawi. Penyalahgunaan data pribadi, kasus doxing, hingga cyberbullying menjadi fenomena yang semakin umum. Yang paling ironis adalah fakta bahwa perilaku ini justru dilakukan oleh generasi yang dianggap paling melek teknologi. Banyak anak muda mahir mengakses informasi, namun kurang memahami bagaimana memperlakukan orang lain secara manusiawi di ruang digital. Padahal Sila Kedua menegaskan bahwa martabat manusia harus dihargai tanpa syarat.Ketika identitas seseorang dengan mudah disebarkan tanpa izin dan ketika komentar bernada merendahkan dianggap hal biasa, nilai kemanusiaan sebenarnya sedang runtuh perlahan. Problem ketiga berkaitan dengan meningkatnya polarisasi sosial dan penyalahgunaan kebebasan berpendapat. Kita sering menyaksikan bagaimana diskusi publik di media sosial dengan cepat berubah menjadi adu makian. Kritik tidak lagi disampaikan berdasarkan data atau argumen yang matang, tetapi lebih didorong oleh emosi sesaat. Kebebasan berekspresi akhirnya disalahartikan sebagai kebebasan mutlak tanpa batas moral. Keadaan ini menunjukkan betapa Sila Ketiga danKeempat mulai kehilangan ruang dalam kehidupan digital. Persatuan dan musyawarah seharusnya menjadi prinsip dalam menghadapi perbedaan pendapat, bukan justru dihilangkandemi memenangkan ego dan kelompok masing-masing. Belum lagi semakin lebarnya kesenjangan informasi yang menandai bahwa tidak semua orang mendapatkan akses yang sama terhadap edukasi digital. Kesenjangan ini pada akhirnya berhubungan dengan Sila Kelima yangmenuntut keadilan bagi seluruh warga negara. Sebagai bagian dari Generasi Z sendiri, situasi ini memunculkan dilema yang tidak sederhana. Disatu sisi, ada kebanggaan karena generasi ini dianggap kreatif, cepat beradaptasi, dan mampu menghadapi perubahan teknologi dengan fleksibel. Namun di sisi lain, ada rasa kecewa melihat betapa mudahnya sebagian anak muda terbawa arus isu provokatif, menyebarkan ujaran kebencian, atau terlibat dalam tindakan yang mengabaikan etika dasar. Dalam banyak kasus, reaksi impulsif di media sosial dianggap wajar, padahal dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang dibayangkan.Permasalahan ini tentu tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah aturan atau materi pendidikan formal. Yang harus dibangun adalah kultur digital yang sehat. Pendidikan etika digital perlu diperkuat, namun tidak hanya dalam bentuk teori. Generasi Z butuh ruang untuk belajar mengendalikan emosi, memahami konteks, dan mempertimbangkan dampak sebelum membagikan sesuatu. Memahami bahwa setiap unggahan memiliki konsekuensi dan setiap kata yang keluar di ruang digital bisa melukai orang lain adalah langkah awal yang penting. Perubahan pada akhirnya harus dimulai dari diri sendiri. Generasi Z perlu mengambil posisi sebagai agen perubahan moral di dunia digital. Menghargai perbedaan, menjaga sopan santun,dan menempatkan data di atas asumsi adalah bentuk implementasi nilai Pancasila yang paling sederhana namun paling nyata. Menggunakan teknologi untuk edukasi, menghindari penyebaran informasi mentah, dan menciptakan ruang diskusi yang beradab juga menjadi bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut.Pancasila tidak boleh hanya menjadi slogan atau sekadar latar belakang dalam upacara kenegaraan. Ia harus menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari, terutama dalam ruang digital yang menjadi tempat kita berinteraksi paling sering. Dengan menghidupkan kembali Pancasila dalam praktik, Generasi Z bukan hanya menjadi generasi yang melek teknologi, tetapi juga generasi yang dewasa secara moral. Tugas besar kita adalah membuktikan bahwa perkembangan teknologi tidak harus berbanding terbalik dengan kualitas etika. Jika nilai-nilai Pancasila mampu diterapkan dengan sungguh-sungguh, ruang digital akan menjadi tempat yang lebih manusiawi, lebih damai, dan lebih mencerminkan jati diri bangsa.
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.