Produktivitas Bermakna Vs Hustle Culture
Eduaksi | 2025-12-08 15:07:11Di tengah hiruk-pikuk kampus yang sibuk dan penuh tuntutan prestasi, diam-diam muncul perlawanan kecil: keinginan untuk, sesekali, benar-benar berhenti dan tidak melakukan apa-apa. Kita hidup dalam ekosistem yang mengagungkan hustle culture. Sibuk jadi semacam lambang status, daftar organisasi di CV dipamerkan seperti trofi, dan tidur cukup malah dianggap mewah. Mahasiswa terjebak dalam perlombaan tanpa akhir. Mengejar IPK tinggi, aktif di berbagai organisasi, ambil kerjaan freelance, sekaligus harus tetap eksis di media sosial.
Produktivitas akhirnya cuma dihitung dari seberapa penuh jadwal, bukan seberapa bermakna waktu yang dijalani. Tapi, makin banyak yang lelah dan mulai bertanya: apa benar hidup cuma soal jadi mesin pencapaian? Atau, mungkin justru dengan berani berhenti sebentar, kita sedang membuka jalan buat kebebasan dan kreativitas yang lebih asli?
“Tidak melakukan apa-apa” di sini bukan soal malas atau lari dari tanggung jawab. Namun, ini adalah tentang strategic idleness, waktu kosong yang dipilih dengan sadar dan dengan tujuan jelas. Ruang hening yang sengaja dibiarkan bebas dari jadwal, notifikasi, dan segala tuntutan. Secara ilmiah, saat seperti inilah default mode network (DMN) di otak kita aktif. DMN ini justru bekerja saat kita tidak sibuk mikirin tugas eksternal. Fungsinya adalah menggabungkan ingatan, merenung, memunculkan ide baru, sampai memecahkan masalah yang rumit. Kalau kita tidak pernah berhenti, otak tidak punya kesempatan buat merenung dan membiarkan ide-ide segar muncul. Dengan kata lain, down time bukanlah waktu yang terbuang. Ia adalah inkubasi.
Budaya produktivitas yang kelewat toksik di kampus punya korban nyata. Data dari survei Kementerian Kesehatan dan berbagai studi di perguruan tinggi jelas menunjukkan makin banyak mahasiswa yang mengalami kecemasan, depresi, dan burnout. Masalah utamanya bukan sekadar tugas kuliah yang berat, tapi tekanan buat selalu tampil produktif dan sukses di segala bidang. Kita terjebak di performance paradox: makin dipaksa produktif, makin menurun kreativitas dan kemampuan berpikir. Kerja jadi asal-asalan, hidup terasa hambar. Burnout itu bukan tanda lemah—itu alarm bahwa sistemnya rusak. Dan, melawan sistem ini bisa dimulai dari satu langkah sederhana: berhenti mengisi setiap detik dengan “kegiatan”.
Lalu, bagaimana caranya menerapkan strategic idleness di kampus yang super padat? Pertama, jadi kurator waktu yang tegas. Sisihkan waktu kosong di kalender, dan jangan tergoda buat mengisinya lagi dengan rapat atau tugas. Biarkan benar-benar bebas. Kedua, nikmati aktivitas yang “tidak produktif” dengan sengaja. Jalan-jalan tanpa arah, duduk di taman sambil mengamati sekitar, atau minum kopi tanpa pegang ponsel. Kegiatan seperti ini memutus siklus doing dan membawa kita ke mode being. Ketiga, kurangi racun perbandingan sosial. Terus menerus cek prestasi orang lain di LinkedIn atau Instagram cuma bikin kepala penuh suara asing, sampai-sampai kita sulit mendengar intuisi sendiri.
Di balik semua ini, ada satu prinsip dasar yang sering dilupakan: produktivitas yang sesungguhnya adalah soal energi, bukan sekadar waktu. Tubuh dan pikiran kita butuh waktu buat pulih. Tanpa istirahat yang bermakna, bukan cuma scroll medsos, kita ujung-ujungnya kehabisan tenaga. Strategic idleness itu cara isi ulang baterai mental. Jadi, pas kembali kerja, kita punya fokus lebih tajam, ide-ide lebih segar, dan motivasi yang lebih tulus. Mirip atlet yang tahu, hari pemulihan itu bagian penting dari latihan, bukan alasan buat berhenti.
Namun, penerapannya menghadapi tantangan unik di lingkungan akademik. Sistem kuliah yang penuh deadline berdesakan, budaya kelompok belajar yang serba sibuk—semua itu bikin “tidak ngapa-ngapain” rasanya kayak dosa. Justru di sini kita butuh keberanian buat memaknai ulang apa itu sukses. Sukses, sebenarnya, bukan soal ngumpulin semua tugas dengan nilai sempurna, tapi tentang ngerjain hal-hal yang benar-benar penting, sambil tetap sadar dan hadir sepenuhnya. Kadang artinya kita harus berani bilang “NO” ke proyek tambahan yang tidak nyambung sama tujuan utama kita. Atau legowo kalau IPK 3,5 plus mental yang sehat jauh lebih berarti daripada IPK 3,9 tapi pikiran remuk. Yang ngerasain tekanan kayak gini juga bukan cuma satu-dua orang, kok. Kalau kita mulai ngobrolin pentingnya jeda secara terbuka, suasana kampus bisa jadi lebih manusiawi buat semua.
Pada akhirnya, belajar untuk tidak ngapa-ngapain itu semacam cara balik lagi ngatur hidup sendiri. Kita mau bilang, nilai diri bukan sekadar dari seberapa banyak yang kita hasilkan, tapi dari seberapa dalam kita benar-benar hadir sebagai manusia. Di dunia yang terus-menerus nuntut pencapaian tanpa henti, berani berhenti itu aksi yang lumayan radikal. Ini bukan soal nyerah sama impian, tapi memilih jalur yang lebih bijak, lebih ramah untuk diri sendiri, dan tetap realistis buat ke depan. Jadi, kayaknya udah waktunya nambahin satu hal penting di to-do list: Tidak ngapa-ngapain. Dan, jangan ragu buat mencoret itu dengan perasaan puas setelah selesai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
