Ketika Memiliki Self-Boundaries di Kampus Menjadi Bentuk Kesadaran Diri
Humaniora | 2025-12-07 21:12:20Kita pasti pernah bertemu dengan orang-orang yang dianggap “egois” karena mereka memilih untuk menarik diri sejenak atau mungkin menolak beberapa ajakan atau permintaan karena merasa tidak sanggup. Sikap ini sering dinilai negatif karena seolah-olah mereka tidak peduli dan tidak ingin membantu yang lainnya. Padahal, dibalik keputusan yang mereka buat, ada sebuah kesadaran kuat bahwa seseorang juga berhak menjaga energi, waktu, dan kesehatan mentalnya.
Namun, di tengah lingkungan sosial yang menuntut kehadiran dan partisipasi, kesadaran diri seperti itu sering disalahpahami. Di kampus, organisasi, maupun pertemanan, ada semacam aturan tak tertulis bahwa seseorang harus selalu hadir dan ikut dalam setiap kegiatan agar tidak dianggap acuh. Di balik tekanan sosial ini, ada salah satu teori psikologi dasar yaitu Self-Determination Theory yang mengatakan bahwa autonomy (perasaan memiliki kendali atas pilihan dan tindakannya sendiri) merupakan salah satu kebutuhan psikologis inidividu. Ketika seseorang terus dipaksa untuk selalu ada agar dianggap “peduli”, ruang otonomi itu akan terancam. Hal ini akan membuat seseorang takut akan penilaian dari sekitarnya ketika bersosialisasi sehingga tidak didasari dengan keinginan yang tulus.
Menetapkan boundaries bukan berarti lepas dari tanggung jawab. Justru, boundaries dapat membantu seseorang menjalankan tugasnya lebih fokus tanpa mengorbankan kesehatan mentalnya. Seseorang yang sudah mengambil amanah dalam organisasi memang wajib menuntaskan tugasnya, tetapi tetap wajar jika ia menolak tambahan beban kalau memang sudah melebihi kapasitas. Memaksakan diri terus-menerus hanya menghasilkan kinerja yang kurang optimal dan kondisi emosional yang buruk. Brené Brown mengatakan bahwa self-boundaries bukan dinding pemisah, melainkan pagar pelindung yang memastikan energi kita dipakai untuk hal-hal yang memang penting dan dibutuhkan. Seseorang yang mengenal batas kemampuan dirinya justru sedang melindungi integritas pekerjaannya agar tetap optimal, bukan menghindar ataupun melepas tanggung jawabnya.
Orang yang mampu menetapkan batasan diri bukan berarti egois atau tidak peduli. Mereka berusaha menstabilkan emosinya dan bekerja secara konsisten. Dalam konteks kehidupan perkuliahan, mahasiswa yang tahu kapan harus beristirahat dan mengatur kembali energinya cenderung mampu menjaga performa akademik maupun sosial dalam jangka panjang. Mereka tidak mudah burnout ataupun demotivation karena mereka punya ritme hidupnya sendiri. Menurut pandangan Brené Brown , seseorang yang memiliki boundaries yang sehat bukan orang yang acuh, justru ia yang paling mampu memberi dengan tulus karena memberi dari “penuh”, bukan dari “kosong”. Dengan kata lain, menjaga diri merupakan bagian dari tanggung jawab sosial karena seseorang yang balance dan punya self-consiousness yang baik bisa menjadi teman, rekan, atapun pemimpin yang bijak dan berdampak positif bagi sekitarnya.
Meski begitu, kenyataannya menjaga boundaries di lingkungan kampus tidak semudah itu. Banyak mahasiswa merasa bersalah saat menolak ajakan teman, absen di rapat atau kegiatan organisasi, atau memilih istirahat daripada ikut proyek tambahan. Budaya overachieving sering kali membuat kita lupa kalau fisik dan pikiran perlu ruang untuk bernapas. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, batas antara tanggung jawab dan pengorbanan jadi kabur seolah-olah nilai seseorang hanya diukur dari seberapa sibuk ia terlihat.
Berani menolak tidak menandakan seseorang lemah atau egois, melainkan bentuk kedewasan dalam mengenali kapasitas diri sendiri. Lingkungan kampus seharusnya menjadi ruang pembelajaran tentang life-balance, bukan arena kompetisi untuk menunjukkan siapa yang paling sibuk. Mungkin saja dunia (terutama dunia mahasiswa) akan menjadi lebih sehat apabila setiap individu mampu megenali self-boundaries dan menolak tanpa disertai rasa bersalah, selagi itu dibutuhkan.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti untuk mengukur nilai seseorang dari seberapa sering ia hadir atau sesibuk apa ia terlihat. Alih-alih menuntut partisipasi penuh di setiap saat, mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk kita ajukan bersama adalah: Apakah kita sudah menciptakan sebuah lingkungan dimana setiap orang dapat jujur berkata ‘tidak’ tanpa perlu merasa bersalah?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
