Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Revanda Adista

Di Balik FYP: Ancaman Senyap bagi Kesehatan Mental Remaja

Edukasi | 2025-12-05 16:45:05
Remaja yang sedang menggunakan gawai (www.freepik.com)

For You Page (FYP) TikTok kini menjadi ruang hiburan utama bagi remaja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Algoritma yang menyajikan konten sesuai preferensi pengguna membuat remaja betah berlama-lama menatap layar. Di balik hiburan singkat tersebut, FYP ternyata menyimpan pengaruh besar terhadap perkembangan psikologis remaja.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa FYP TikTok memiliki dua sisi. Di satu sisi, platform ini mampu mendorong kreativitas, ekspresi diri, dan koneksi sosial. Namun di sisi lain, penggunaan yang berlebihan juga berisiko memicu kecanduan, gangguan citra diri, hingga masalah kesehatan mental seperti kecemasan. Bahkan, kini muncul istilah “brainrot” yang merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten adiktif secara terus-menerus.

TikTok sebagai aplikasi video pendek milik ByteDance telah digunakan oleh lebih dari satu miliar pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Mayoritas penggunanya berasal dari kelompok usia 13–24 tahun. Fitur utama FYP bekerja dengan kecerdasan buatan yang merekomendasikan konten berdasarkan riwayat interaksi pengguna, seperti like, share, dan durasi menonton. Mekanisme inilah yang membuat TikTok terasa sangat personal sekaligus adiktif.

Artikel ini mengkaji pengaruh FYP TikTok terhadap aspek psikologis remaja, seperti harga diri (self-esteem), kecemasan, dan kreativitas, berdasarkan temuan dari berbagai studi internasional. Selain itu, dibahas pula risiko brainrot serta strategi pencegahannya.

Pengaruh Positif dan Negatif FYP TikTok

Sejumlah penelitian menunjukkan dampak positif dari FYP TikTok. Remaja memiliki ruang untuk mengekspresikan diri, berkreasi, dan memperoleh umpan balik secara cepat. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Pediatrics menyebutkan bahwa pengguna TikTok yang aktif mengalami peningkatan kreativitas karena platform ini mendukung kolaborasi dan interaksi sosial.

Namun, dampak negatif juga tak dapat diabaikan. FYP kerap menampilkan konten ekstrem atau standar tubuh yang tidak realistis. Paparan konten semacam ini berpotensi menurunkan kepercayaan diri remaja. Studi lain dalam Computers in Human Behavior menemukan bahwa paparan konten “sempurna” di media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan makan dan depresi pada remaja, terutama perempuan.

Di Indonesia, sebuah survei dari Pusat Kajian Media dan Budaya tahun 2022 mencatat bahwa sekitar 40 persen remaja merasa cemas setelah membandingkan diri dengan influencer yang muncul di FYP mereka.

Masalah kecanduan juga menjadi tantangan besar. FYP dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Kebiasaan scrolling tanpa henti berdampak pada gangguan tidur dan menurunnya produktivitas belajar. American Psychological Association (APA) pada 2022 juga menyoroti bahwa penggunaan media sosial berlebihan berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif remaja. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat adanya peningkatan masalah kesehatan mental remaja secara global selama pandemi, yang sebagian berkaitan dengan aktivitas media sosial.

Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung nilai keagamaan dan sosial, tren yang viral di TikTok turut memengaruhi norma perilaku remaja. Tren instan yang muncul di FYP kerap bertentangan dengan pembentukan karakter jangka panjang. Meski demikian, tidak sedikit pula remaja yang memanfaatkan TikTok sebagai media edukasi, termasuk untuk kampanye kesehatan mental.

Risiko Brainrot dan Cara Mencegahnya

Istilah brainrot belakangan ramai diperbincangkan untuk menggambarkan kondisi ketika otak mengalami kelelahan akibat konsumsi konten ringan secara berlebihan. Gejalaninya meliputi penurunan fokus, gangguan memori, dan kecanduan scrolling yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Penelitian dalam Journal of Behavioral Addictions menjelaskan bahwa algoritma media sosial memperkuat pola kecanduan yang mirip dengan mekanisme perjudian.

Untuk meminimalkan risiko ini, sejumlah langkah dapat diterapkan. Pertama, membatasi waktu penggunaan TikTok dengan fitur screen time. Kedua, mendorong aktivitas offline seperti olahraga, membaca buku, atau kegiatan sosial. Ketiga, membiasakan meditasi dan mindfulness untuk melatih fokus. Keempat, memperkuat literasi digital agar remaja mampu menyaring konten secara kritis. Terakhir, jika gejala sudah mengganggu aktivitas harian, konsultasi dengan tenaga profesional menjadi langkah yang bijak.

Dengan penggunaan yang seimbang dan sadar, remaja tetap dapat menikmati TikTok sebagai sarana hiburan sekaligus kreativitas, tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan perkembangan kognitifnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image