Kereta Cepat Whoosh: Antara Prestise dan Beban Fiskal
Politik | 2025-12-05 13:28:47Pembangunan adalah perjalanan menuju kemajuan, tapi siapa yang menanggung ongkos tiketnya?
Pertanyaan itu mungkin sederhana, tapi sangat relevan ketika kita membicarakan proyek kereta cepat Whoosh, ikon baru transportasi Indonesia yang kini melaju di antara dua arus besar: ambisi prestise dan realitas beban fiskal. Di satu sisi, Whoosh menjadi simbol lompatan teknologi, kebanggaan nasional, dan bukti bahwa Indonesia mampu sejajar dengan negara-negara maju. Namun di sisi lain, proyek ini menimbulkan pertanyaan: seberapa besar harga yang harus dibayar, bukan hanya dengan uang, tetapi juga dengan keberlanjutan fiskal di masa depan?
Sejak awal, Whoosh memang tak sekadar soal kecepatan. Ia adalah simbol modernitas, sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa bangsa ini bisa berlari secepat Jepang dan Tiongkok. Relnya seolah menjadi garis panjang yang menghubungkan mimpi masa depan dengan realitas hari ini. Namun, di balik dentuman roda yang melaju 350 kilometer per jam, ada irama lain yang lebih pelan, yakni irama utang yang menunggu untuk dilunasi.
Kita tahu, pembangunan besar selalu datang dengan risiko besar pula. Proyek ini didanai lewat kombinasi investasi, pinjaman luar negeri, dan dukungan pemerintah. Ketika biaya membengkak dari perkiraan awal, beban finansial pun meningkat. Di titik ini muncul dilema klasik antara mengejar prestise atau menjaga kestabilan fiskal. Di satu sisi, pemerintah ingin mempercepat transformasi infrastruktur sebagai penopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Namun di sisi lain, peningkatan utang dan kewajiban pembayaran bunga menciptakan tekanan bagi APBN yang sudah harus menanggung berbagai subsidi dan belanja negara yang lain.
Analogi sederhananya begini, negara seperti keluarga yang baru membeli mobil mewah dengan sistem kredit. Mobil itu mempercepat perjalanan dan memberi gengsi, tetapi tagihan bulanannya tetap harus dibayar. Jika pendapatan keluarga meningkat, cicilan terasa ringan. Namun bila penghasilan stagnan, mobil itu bisa berubah dari simbol prestise menjadi sumber stres finansial. Begitu pula dengan Whoosh, ia bisa menjadi pendorong pertumbuhan, atau justru menjadi beban yang menahan laju ekonomi jika tak dikelola dengan hati-hati.
Masalahnya dalam euforia prestasi nasional, pembicaraan tentang beban fiskal sering kali tenggelam. Padahal, dalam konteks ekonomi makro, setiap utang publik, betapapun tujuannya mulia, pada akhirnya harus dibayar dengan penerimaan negara, baik melalui pajak maupun pengalihan anggaran dari sektor lain. Di sini muncul pertanyaan penting: apakah manfaat ekonomi dari Whoosh sebanding dengan biaya yang dikeluarkan? Apakah peningkatan mobilitas, investasi kawasan, dan efisiensi waktu benar-benar akan menutup ongkos finansial yang ditanggung negara?
Beberapa ekonom memang melihat Whoosh sebagai investasi jangka panjang yang akan memberikan multiplier effect bagi ekonomi Jawa Barat dan Jakarta, tetapi efek itu tidak akan muncul seketika. Seperti benih yang ditanam, hasilnya baru bisa dipetik ketika ekosistemnya siap, ketika kawasan transit berkembang, konektivitas membaik, dan daya beli masyarakat meningkat. Sayangnya, selama masa transisi, bunga pinjaman dan biaya operasional tetap harus dibayar.
Di sinilah pentingnya pengelolaan fiskal yang cermat. Pemerintah perlu menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan disiplin anggaran. Karena dalam ekonomi, prestise tak boleh lebih cepat dari kemampuan fiskal untuk membayarnya. Tidak ada yang salah dengan mimpi besar, tetapi mimpi itu harus berpijak pada perhitungan yang realistis. Kita boleh bangga pada Whoosh sebagai simbol kemajuan, tetapi kebanggan itu tak boleh menutupi kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap rupiah yang digunakan.
Lebih jauh, proyek seperti Whoosh seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek fisik dan finansial, tetapi juga dari aspek sosial dan pemerataan. Siapa yang paling merasakan manfaatnya? Apakah masyarakat kelas menengah ke bawah mendapatkan akses yang sama, atau justru Whoosh menjadi simbol kemajuan yang hanya bisa dinikmati sebagian kecil warga? Di titik ini, kecepatan Whoosh mungkin perlu diimbangi dengan kecepatan pemerintah dalam menumbuhkan rasa keadilan sosial.
Kita bisa belajar banyak dari negara yang pernah menghadapi dilema serupa. Jepang, misalnya, berhasil menjadikan Shinkansen bukan hanya alat transportasi, tetapi juga pendorong ekonomi wilayah. Namun kesuksesan itu datang dari perencanaan jangka panjang, efisiensi manajemen, dan komitmen fiskal yang kuat. Tanpa itu semua, kereta cepat bisa berakhir seperti proyek mercusuar, megah di awal, tetapi kehilangan sinarnya di tengah perjalanan.
Kita percaya bahwa transparansi fiskal adalah kunci agar pembangunan tetap sehat. Neraca keuangan negara, pada akhirnya adalah cerminan karakter bangsa. Apakah kita lebih memilih membangun dengan kebanggaan sesaat atau dengan keberlanjutan yang bijak? Setiap proyek besar seperti Whoosh harus dilihat tidak hanya dari sisi manfaat ekonomi, tetapi juga dari sisi fiscal responsibility. Karena pada akhirnya, utang negara bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ia adalah janji kepada generasi berikutnya.
Di tengah semua perdebatan ini, Whoosh tetap melaju di relnya. Ia membawa kebanggaan, harapan, sekaligus tanggung jawab. Mungkin benar kemajuan butuh risiko, tetapi risiko yang tidak disadari adalah utang yang terus menumpuk tanpa perencanaan matang. Maka, tugas kita sebagai warga dan calon ekonom muda tidak hanya berdecak kagum pada kecepatannya, tetapi juga bertanya: “Siapa yang memastikan rel keuangan kita tetap seimbang?”.
Pada akhirnya, pembangunan yang bijak bukanlah tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling tahan lama. Whoosh mungkin menjadi simbol kebanggaan hari ini, tetapi keberlanjutan fiskal akan menentukan apakah kebanggan itu tetap berdiri kokoh di masa depan. Sebab, di balik setiap laju yang mengagumkan, ada rem yang harus dijaga agar kita tak tergelincir oleh ambisi sendiri.
Kecepatan memang memukau, tetapi tanpa keseimbangan, ia bisa berujung pada kelelahan. Mungkin di antara prestise dan beban fiskal, kita perlu mengingat satu hal sederhana, pembangunan sejati bukan tentang seberapa cepat kita tiba, tetapi seberapa jauh kita bisa bertahan.
Sebagaimana Milton Friedman pernah mengatakan, “There’s no such thing as a free lunch.” Tak ada makan siang gratis. Maknanya setiap kemajuan datang dengan harga yang harus dibayar. Maka, di balik gemuruh roda Whoosh yang melaju kencang, semoga kita tak lupa untuk berhitung, merenung, dan memastikan bahwa langkah cepat hari ini tidak menggadaikan kesejahteraan esok hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
