Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imtiyas Amany

Prinsip Muamalah: Fondasi Etika Ekonomi di Era Digital dan Disrupsi Teknologi

Ekonomi Syariah | 2025-12-05 13:39:24

Transformasi digital telah mengubah cara manusia bekerja, bertransaksi, dan membangun relasi sosial. Platform e-commerce, dompet digital, fintech syariah, artificial intelligence (AI), hingga gig economy membentuk pola ekonomi baru yang cepat, instan, dan sangat kompetitif. Perubahan ini tidak hanya menghadirkan peluang, tetapi juga menimbulkan problem kompleks: ketimpangan informasi, eksploitasi data, konsumerisme ekstrem, spekulasi finansial, hingga praktik bisnis yang mengabaikan etika.

Ilustrasi Perbandingan Transformasi Digital: General AI Image

Dalam konteks inilah, prinsip muamalah dalam Islam tampil sebagai pedoman etis dan normatif yang relevan, fleksibel, dan solutif untuk membangun ekosistem ekonomi yang adil, transparan, dan berkelanjutan di era digital.

Prinsip muamalah yang pertama adalah keadilan (al-‘adl). Dalam Islam, keadilan tidak hanya dimaknai sebagai larangan untuk menipu, tetapi juga mencakup perlindungan hak, kesetaraan kesempatan, serta penciptaan kemaslahatan publik. Nilai ini menjadi dasar untuk memastikan setiap pihak memperoleh haknya secara wajar, tanpa eksploitasi atau ketidakadilan.

Dalam konteks ekonomi digital, konsep keadilan tercermin dalam berbagai isu kontemporer seperti rendahnya upah pekerja gig tanpa jaminan sosial, dominasi platform besar yang menekan keberlangsungan UMKM, serta algoritma yang dirancang untuk lebih menguntungkan pemilik modal dibanding pelaku usaha kecil. Selain itu, persoalan privasi data konsumen yang sering disalahgunakan untuk kepentingan komersial juga menjadi bentuk ketidakadilan yang relevan di era digital.

Oleh karena itu, prinsip keadilan mendorong pelaku bisnis digital untuk memberikan upah yang layak, menerapkan transparansi dalam kebijakan biaya, hingga menghindari eksploitasi konsumen. Bisnis dalam perspektif muamalah bukan sekadar sarana mencari keuntungan, tetapi juga mekanisme penciptaan kesejahteraan kolektif.

Prinsip Muamalah yang ke dua, Islam menegaskan bahwa transaksi ekonomi harus dilakukan atas dasar kerelaan (taradin), tanpa tekanan, penipuan, atau rekayasa informasi. Prinsip ini menjadi sangat penting pada era digital yang rentan terhadap praktik marketing manipulatif.

Fenomena seperti perang diskon palsu, desain aplikasi yang sengaja menjerat pengguna (dark pattern), iklan clickbait, hingga penjualan data konsumen tanpa izin adalah contoh pelanggaran terhadap nilai dasar transparansi. Di sisi lain, banyak konsumen tidak menyadari risiko yang mereka hadapi karena informasi yang disampaikan tidak jujur atau sengaja disembunyikan.

Ekonomi digital yang ideal menurut muamalah adalah ekonomi yang memberikan informasi yang jelas terkait produk, risiko, dan kebijakan biaya, serta benar-benar melindungi kepentingan konsumen. Transparansi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan tanggung jawab moral untuk menciptakan ekosistem digital yang adil dan beradab.

Prinsip Muamalah yang ke tiga, Di era ketika transaksi jarang dilakukan secara tatap muka, amanah (trust) menjadi salah satu aset paling berharga dalam ekonomi digital. Amanah mencakup kejujuran dalam deskripsi produk, keamanan dalam proses pembayaran, perlindungan terhadap data pribadi, serta profesionalitas dalam memberikan layanan.

Ketika amanah hilang, konsekuensinya tidak hanya berupa kerugian material, tetapi juga runtuhnya kepercayaan publik—yang pada akhirnya menghancurkan ekosistem digital itu sendiri. Oleh karena itu, platform digital yang sukses bukan hanya menjual produk atau layanan, tetapi juga menawarkan rasa aman kepada penggunanya.

Dalam perspektif muamalah, menjaga amanah bukan hanya strategi bisnis yang efektif, melainkan bentuk ibadah yang bernilai spiritual, sehingga memiliki dimensi etis sekaligus religius.

Prinsip Muamalah yang ke empat, Perkembangan ekonomi digital mendorong munculnya berbagai inovasi fintech. Namun, tidak sedikit layanan keuangan yang ditawarkan justru berpotensi menjerumuskan konsumen pada riba, gharar (ketidakjelasan), atau maisir (spekulasi).

Praktik seperti bunga tinggi, denda menekan, transaksi derivatif berisiko, hingga spekulasi tanpa dasar merupakan bentuk mekanisme ekonomi yang menciptakan ketimpangan sistemik dan ketidakpastian destruktif. Karena itu, Islam secara tegas melarang bentuk transaksi semacam ini.

Sebagai solusi, ekonomi syariah menghadirkan model pembiayaan berbasis aset nyata dan berbagi risiko seperti murabahah, musyarakah, mudharabah, dan qardhul hasan. Model ini menawarkan kerangka ekonomi yang lebih adil, karena keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal, tetapi dibagikan melalui mekanisme kemitraan.

Prinsip Muamalah yang ke lima. Salah satu keunggulan konsep muamalah adalah sifatnya yang ijtihadiyah, yakni fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Artinya, Islam tidak menolak teknologi. Platform digital, kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), atau blockchain bukanlah sesuatu yang haram selama tidak melanggar nilai kemanusiaan.

Teknologi justru dianjurkan ketika diarahkan untuk memperluas akses ekonomi, memberdayakan masyarakat, meningkatkan efisiensi bisnis, serta menjaga keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, muamalah tidak dapat dipandang sebagai aturan kuno, melainkan framework etis untuk mengelola inovasi modern dengan bertanggung jawab.

Prinsip Muamalah yang ke enam, Lebih dari sekadar aturan transaksi, muamalah adalah sistem peradaban yang menempatkan manusia sebagai subjek bermartabat. Ekonomi yang sehat harus mampu mengurangi kesenjangan, meningkatkan kesejahteraan, memperkuat solidaritas, serta menjaga martabat setiap individu.

Keberhasilan ekonomi dalam Islam tidak diukur dari akumulasi kekayaan semata, tetapi dari keberkahan, manfaat, dan keadilan yang dihasilkan bagi masyarakat secara luas.

Kesimpulan: Relevansi Muamalah di Era Disrupsi

Dalam realitas ekonomi yang semakin digital, kompetitif, dan kompleks, prinsip muamalah hadir sebagai kompas moral serta intelektual yang mampu mengarahkan pembangunan ekonomi agar tetap berpihak pada nilai kemanusiaan. Muamalah menawarkan cara pandang yang memungkinkan ekonomi menjadi:

  • Inovatif, tetapi adil
  • Digital, tetapi manusiawi
  • Kompetitif, tetapi etis
  • Menguntungkan, tetapi berkelanjutan

Dengan demikian, muamalah bukan hanya warisan pemikiran masa lalu, tetapi panduan masa depan bagi pembangunan ekonomi yang inklusif dan beretika. Implementasi yang konsisten terhadap nilai baru ini dalam bisnis digital dan kebijakan publik akan mampu menciptakan ekosistem ekonomi yang tidak sekadar menghasilkan keuntungan, tetapi juga membawa keberkahan, pemerataan, dan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image