Barter Senjata dengan Alam di Afrika
Politik | 2022-03-11 12:18:00Serangan Rusia ke Ukraina telah memantik solidaritas International di banyak negara, khususnya Uni Eropa, untuk membantu Ukraina dan pada saat bersamaan mengutuk pemerintah Moskow.
Berbagai sanksi internasional bergantian diterapkan guna menekan Rusia menghentikan agresi militernya. Selain itu, bentuk-bentuk embargo ekonomi mulai dijatuhkan, dimulai dengan hengkangnya perusahaan-perusahaan besar dari Rusia.
Bila banyak negara belahan dunia jelas-jelas menyuarakan anti Rusia, maka tidak demikian dengan blok negara-negara Afrika. Paling tidak, sikap tegas mengecam Rusia di Sidang Umum PBB hanya ditunjukkan oleh Kenya. Sementara sebanyak tujuh belas negara Afrika lainnya abstain saat pemungutan suara, termasuk sekutu dekat Kremlin seperti pendukung terdekat Rusia Mali, Sudan dan Republik Afrika Tengah. Bahkan negara yang dikategorikan negara kecil di Afrika, Eritrea, secara demonstratif mendukung Rusia.
Fenomena ini banyak absen dari perhatian dunia Internasional. Yang terjadi sebenarnya adalah dalam beberapa tahun terakhir, Rusia telah memperluas hubungannya dengan benua Afrika. Komitmen tersebut memiliki alasan perluasan pasar produk Rusia, tetapi juga langkah strategis membuka aliansi politik baru untuk Kremlin.
Afrika telah belajar untuk menutup diri dengan masa lalu, dimana benua ini telah lama terkoyak selama era kolonial menjadi eksploitasi Barat. Bagi sebagian elit Afrika, keberpihakan pada Rusia juga pilihan untuk hidup dalam batas dan tumbuh bersama dengan cara lain, daripada melihat sejarah dengan nostalgia perpecahan yang memilukan di masa lalu. Bahkan, untuk memisah masa kelam di bawah Perancis, negara yang dikenal lama mencengkram Afrika, banyak warga turun di jalan-jalan utama di Afrika menggaungkan slogan anti Perancis dan pro Rusia.
Mengacu pada pendapat ahli hubungan Internasional Kenya, Hassan Khannenie, Putin mulai mengintensifkan hubungan dengan Afrika, setelah aneksasi Krimea, Ukraina. Krisis dukungan Internasional membuat Moskow perlu mencari mitra baru. Akibat sanksi dari Eropa, dunia internasional kemudian berpaling ke Afrika. Satu sisi, karena benua ini berkembang pesat secara ekonomi menjadi pasar potensial. Di sisi lain, karena dukungan dapat dimobilisasi di sini di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hubungan ekonomi diperluas saat Putin diundang ke KTT Rusia-Afrika di Laut Hitam tahun 2019 lalu. Diyakini, banyak komitmen yang dimulai dari pertemuan ini. Dunia Internasional yang mencurigai manuver Rusia mencurigai tema pertemuan adalah “Barter senjata dengan sumber daya alam“. Kenyataannya, hampir separuh senjata yang beredar di Afrika berasal dari impor senjata Rusia. Bagi pasukan bersenjata Afrika, senjata Rusia dikenal lebih murah dibanding senjata Barat dan militer di negara-negara Afrika sudah terbiasa menggunakannya, misal senjata terkenal Rusia AK-47. Akhirnya, barter senjata dengan alam ini menguntungkan Rusia yang mendapat tiga hal sekaligus: pasar industri senjata mereka, dukungan politik Internasional dan kemudahan akses sumber daya alam, khususnya barang tambang untuk industri.
Kecurigaan Barat akan makin kuatnya cengkraman Rusia di Afrika juga karena adanya peran khusus yang dimainkan oleh tentara bayaran Rusia yang dikenal dengan Wagner troop (pasukan Wagner). Tidak ada data resmi berapa banyak tentara bayaran Rusia tersebut di benua ini. Tetapi angkanya berkisar sekitar 1.500 orang. Keberadaan tentara bayaran ini mampu mengeksploitasi konflik seperti yang terjadi di Republik Afrika Tengah atau Mali tanpa perlu Moskow terjun langsung ke tanah konflik.
Invasi Rusia ke Ukraina akhirnya membuka mata dunia akan eksistensi frustasi sebagian penduduk bumi akan hegemoni dan arogansi yang telah lama menguasai dunia, baik politis maupun ekonomi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.