Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putri Tsania Carissa Anabela

Healing Dulu Biar Waras: Mengapa Anak Muda Merasa Selalu Harus Pulih?

Gaya Hidup | 2025-12-05 04:50:15
source: instagram.com/lauradzeng

Healing Dulu, Biar Waras”

Weekend ini mau healing dulu.”

Kalimat itu terdengar akrab di telinga banyak anak muda. Kadang diucapkan sambil bercanda, tapi maknanya seringkali nyata: tubuh dan pikiran sudah lelah.

Di media sosial, healing tampil dalam berbagai bentuk: ngopi di cafe estetik, jalan-jalan ke pantai, staycation, bahkan rebahan dengan film favorit. Semua dianggap self-care, bagian dari “perjalanan menyembuhkan diri”.

Tapi dibalik unggahan yang tampak tenang dan bahagia itu, muncul pertanyaan penting:

Apakah healing benar-benar bentuk perawatan diri (self-care) atau hanya pelarian sesaat dari budaya produktivitas yang membuat kita takut berhenti?

Anak muda jaman sekarang hidup di tengah lautan tuntutan. Dari kampus hingga dunia kerja, dari keluarga hingga media sosial, semuanya menuntut kita untuk “berkembang terus”.

Budaya hustle yang dipopulerkan oleh influencer dan motivational content membuat banyak orang merasa bahwa waktu istirahat sama dengan kemunduran. Belum lagi media sosial yang menjadi cermin tak seimbang mulai dari semua orang tampak sibuk, sukses, dan bahagia. Akibatnya, muncul tekanan baru yaitu productivity anxiety atau kecemasan karena takut tidak produktif.

Survei LinkedIn Global Workforce Report (2024) menemukan bahwa 78% pekerja muda Asia Tenggara merasa tekanan terbesar mereka datang dari perbandingan sosial, bukan dari pekerjaan itu sendiri. Sementara data Jakpat (2025) menunjukkan 6 dari 10 Gen Z di Indonesia merasa bersalah jika tidak produktif satu hari saja.

Budaya ini membuat banyak anak muda merasa lelah tapi tak tahu cara berhenti. Maka healing menjadi semacam izin sosial untuk rehat sejenak yang merupakan bentuk pembenaran agar bisa beristirahat tanpa rasa bersalah.

Dulu, healing berarti proses penyembuhan diri, baik secara fisik maupun mental. Namun kini, hampir semua aktivitas menyenangkan dilabeli healing: makan enak, nonton film, traveling, atau sekadar belanja online.

Sayangnya, perubahan makna ini juga melahirkan masalah baru: healing bergeser menjadi tren konsumtif. Banyak orang merasa perlu membeli sesuatu untuk disebut sedang healing, tiket pesawat, brunch di kafe viral, spa mewah, atau hotel instagramable. Padahal, tujuan awal healing bukanlah gaya hidup mewah, melainkan proses introspektif untuk memulihkan diri dari stres dan tekanan hidup.

Di TikTok dan Instagram, tagar #selfcare atau #healingtime dipenuhi video aesthetic: kopi hangat di pagi hari, pemandangan senja, dan musik lembut. Semua terlihat sempurna, tapi tidak selalu mencerminkan kenyataan.

Banyak yang pergi berlibur bukan untuk menikmati waktu, tapi demi hasil foto yang layak diposting.

Jika sepanjang perjalanan yang dipikirkan hanya hasil konten, apakah itu masih bisa disebut healing?

Teknologi dan Kompleksitas Hidup Modern

Kebutuhan anak muda terhadap proses penyembuhan meningkat pesat karena teknologi dan sosial media menghadirkan tekanan baru yang tidak dihadapi generasi sebelumnya.

Arus informasi yang cepat dan konstan membuat otak kita jarang benar-benar istirahat.

Setiap hari kita melihat berita buruk, perdebatan online, dan pencapaian orang lain hingga sulit membedakan antara kenyataan dan ekspektasi sosial.

Selain itu, kehidupan modern penuh ketidakpastian misalnya, biaya hidup meningkat, karir sulit diprediksi, relasi personal lebih rapuh karena komunikasi digital yang dangkal. Dalam situasi seperti itu, kebutuhan untuk berhenti sejenak bukan sekadar keinginan, tapi kebutuhan psikologis agar tidak runtuh.

Budaya healing tidak hanya menjadi fenomena sosial, tapi juga ekonomi. Industri pariwisata, kafe, spa, hingga produk aromaterapi melonjak popularitasnya dengan menjual narasi self-care. Istilah "retail therapy" adalah membeli sesuatu untuk memperbaiki suasana hati juga menjadi semakin populer. Bisnis memanfaatkan keresahan generasi muda dengan menjual perasaan “damai instan” dalam bentuk barang dan pengalaman.

Tidak ada yang salah dengan menikmati hidup. Semua orang berhak membeli kenyamanan. Tapi ketika healing selalu diukur dari nominal pengeluaran, kita kehilangan hubungan dengan diri sendiri. Karena sejatinya, self-care bukan soal harga, tapi kesadaran.

Menurut riset American Psychological Association (APA, 2024), praktik sederhana seperti mindfulness, journaling, atau tidur cukup memiliki efek signifikan dalam menurunkan stres dan meningkatkan kebahagiaan jangka panjang. Namun, kegiatan semacam ini sering kalah populer karena tidak terlihat menarik di media sosial.

source: KristenUroda.com

Padahal, healing sejati seringkali sesederhana berjalan kaki tanpa ponsel, menulis jurnal pribadi, berbincang dengan teman dekat, atau sekadar menyalakan musik yang menenangkan.

Kegiatan seperti ini mungkin tidak estetik, tapi memberi ruang bagi diri untuk bernapas.

Healing sejati adalah saat kita jujur terhadap diri sendiri dan mengenali rasa lelah tanpa berusaha menutupinya dengan konten atau konsumsi.

Meski sering dikritik sebagai tren konsumtif, budaya healing juga membawa dampak positif.

Ia menandai perubahan besar dalam cara generasi muda memandang kesehatan mental.

Jika dulu stres dianggap tanda kelemahan, kini banyak anak muda berani berbicara, mencari bantuan profesional, dan mengenali tanda-tanda burnout lebih dini.

Menurut data Kementerian Kesehatan RI (2024), 23% anak muda usia 18–30 tahun di Indonesia mengalami gejala burnout ringan hingga sedang, tetapi tingkat pencarian bantuan profesional meningkat 40% dibanding lima tahun lalu.

Kesadaran ini menunjukkan pergeseran positif: generasi muda tidak ingin hanya bertahan hidup, tapi ingin hidup dengan sadar.

Setiap orang punya cara berbeda untuk menyembuhkan diri. Ada yang tenang lewat musik, olahraga, waktu menyendiri, atau berbicara dengan orang yang dipercaya.

Namun, penting untuk membedakan antara healing yang menyembuhkan dan healing yang hanya pelarian.

Healing sejati membuat kita lebih tenang setelahnya, memberi ruang refleksi, dan meningkatkan kesadaran diri.

Healing palsu justru menambah lelah dan kita mungkin merasa bahagia sebentar, tapi stres kembali datang begitu layar ponsel menyala lagi.

Tekanan untuk selalu produktif adalah penyakit kolektif zaman ini.

Namun, melawan bukan berarti berhenti berusaha melainkan belajar menyeimbangkan.

Perusahaan dan kampus perlu memahami bahwa produktivitas tidak bisa dipaksakan tanpa memberi ruang istirahat mental.

Sementara individu perlu belajar bahwa istirahat bukan dosa, dan tidak semua waktu harus “bermanfaat” secara ekonomi.

Seperti pepatah lama, “Kita tidak bisa menuang dari gelas yang kosong.”

Healing adalah cara untuk mengisi ulang agar kita bisa melanjutkan hidup dengan lebih sadar, bukan lebih cepat.

Di dunia yang menuntut untuk “selalu menjadi versi terbaik”, healing bisa jadi bentuk pemberontakan paling lembut.

Ia bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, tapi memilih untuk memperlambat langkah, agar bisa melihat hidup dengan lebih jernih.

Karena sejatinya, healing bukan tentang terlihat bahagia di foto, tapi tentang benar-benar merasa cukup di dalam diri sendiri.

Kadang, bentuk self-care paling jujur bukan staycation, tapi keberanian untuk berkata “Aku capek. Aku istirahat dulu.”

- Putri Tsania Carissa Anabela, Mahasiswa Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image