Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Arsyad Nurendra

Transaksi Digital: Cepat, Mudah, dan Tetap Berkah

Agama | 2025-12-03 14:26:22
#transaksidigital

Zaman sekarang, dompet tertinggal di rumah mungkin bukan masalah besar, tapi kalau smartphone yang tertinggal, rasanya seperti mati gaya. Fenomena ini wajar, mengingat hampir semua urusan keuangan kita mulai dari jajan kopi, bayar tagihan listrik, hingga sedekah Jumat sudah berpindah ke layar ponsel. Cukup pindai QRIS atau klik saldo e-wallet, transaksi selesai dalam hitungan detik. "Sat-set" dan praktis. Namun, di balik kemudahan jempol kita menari di atas layar, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah transaksi yang serba cepat ini sudah pasti benar secara aturan main agama ?

Prinsip Muamalah sebagai Rambu Transaksi Digital

Di sinilah pentingnya kita kembali menengok prinsip dasar muamalah. Islam sebenarnya tidak anti-teknologi. Justru, Islam sangat adaptif. Namun, ada rambu-rambu tegas yang tidak boleh dilanggar, terlepas dari secanggih apa pun alat bayarnya. Rambu utama itu tertuang indah dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 29 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka (taradhin) di antara kamu." Ayat ini adalah "rem pakem" kita. Di era digital, "batil" bisa berwujud biaya tersembunyi yang mencekik, dan "suka sama suka" bisa tercederai oleh ketidaktahuan kita saat asal klik tombol "Setuju".

Mari kita bicara jujur soal tantangan terbesar saat ini: fitur Paylater dan pinjaman instan. Secara tampilan antarmuka (interface), fitur ini sangat menggoda. Limit kredit muncul instan, check-out barang impian jadi terasa ringan. Tapi, di sinilah letak ujian kejelasan akadnya. Sering kali, akad utang-piutang ini dikemas dengan bahasa teknis yang rumit dan diletakkan di laman "Syarat & Ketentuan" yang jarang dibaca. Akibatnya, banyak pengguna kaget ketika tagihan datang dengan bunga atau denda keterlambatan yang jauh di luar dugaan.

Ketidakjelasan Akad dan Ilusi Uang Digital dalam Perspektif Fiqih Muamalah

Dalam kacamata Fiqih Muamalah, kondisi di atas berpotensi melanggar prinsip kejelasan akad. Prinsip taradhin (kerelaan) itu tidak sah jika didasari oleh ketidaktahuan atau informasi yang kabur (gharar). Sebuah transaksi yang berkah menuntut transparansi: berapa harga tunainya, berapa harga cicilannya, dan apa konsekuensinya jika telat bayar. Jika aplikasi menyembunyikan detail ini demi "jebakan" marketing, maka unsur keadilan telah hilang. Sebagai konsumen cerdas, kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak sekadar tergiur promo, tapi kritis terhadap akad yang kita setujui. Jangan sampai kemudahan hari ini menjadi beban utang yang "membunuh" ketenangan diri kita di kemudian hari, sebagaimana peringatan lanjutan di akhir ayat An-Nisa tadi: "Janganlah kamu membunuh dirimu."

Selain masalah akad, tantangan digital lainnya adalah ilusi uang. Saat memegang uang tunai, kita sadar fisik uangnya menipis. Tapi di dompet digital, uang hanyalah angka. Ini sering membuat kita kehilangan kontrol diri (self-control), terjebak perilaku boros (israf) demi memenuhi keinginan impulsif, bukan kebutuhan. Islam mengajarkan konsep Tawazun atau keseimbangan. Teknologi seharusnya memudahkan kita mengatur pos pengeluaran, bukan malah membuat kita "boncos" di akhir bulan. Menggunakan e-wallet untuk belanja boleh saja, tapi akan jauh lebih indah jika kemudahan itu juga dimanfaatkan untuk menyeimbangkan neraca akhirat, seperti rutin transfer wakaf atau sedekah online yang kini salurannya sangat terpercaya.

menutup dengan refleksi 

Pada akhirnya, perjalanan kita dalam menghadapi dunia digital tidak hanya soal kecanggihan fitur dan kecepatan transaksi, tetapi tentang bagaimana kita menjaga nilai-nilai yang Allah titipkan dalam setiap langkah. Teknologi mungkin memudahkan hidup, tetapi ia tidak bisa menggantikan peran hati yang jernih dalam membedakan mana yang adil dan mana yang menjerumuskan.

Ketika kita lebih berhati-hati membaca akad, menimbang kebutuhan sebelum klik “Bayar”, atau menahan diri dari utang yang tidak jelas konsekuensinya, sesungguhnya kita sedang membangun benteng untuk melindungi diri sendiri. Begitu pula ketika kita memanfaatkan teknologi untuk amal, menunaikan sedekah, atau mengelola keuangan dengan lebih bijak, kita sedang menjadikan dunia digital sebagai ladang kebaikan, bukan jebakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image