Negeri Sunyi
Politik | 2025-12-03 00:25:10
Air selalu datang dengan kejujurannya sendiri. Ia tidak pernah berjanji dan tidak pernah menipu. Ia hanya mengikuti jalur yang sejak lama dititipkan alam. Tetapi di Aceh dan Sumatra, aliran itu berubah menjadi hantaman: menyeret rumah, merobohkan jembatan, menenggelamkan ladang, dan menghapus harapan yang dirajut pelan oleh keluarga-keluarga yang hanya ingin hidup layak.
Musibah Tanpa Pengakuan
Yang aneh bukan banjirnya, tetapi cara para pemutus kebijakan meresponsnya. Mereka terlihat seolah baru mengenal hujan, seakan curah ekstrem adalah fenomena langka yang datang ketika mereka membutuhkan dalih. Setiap kali bencana terjadi, narasi lama muncul, “Alam sedang murka.” Alam tidak pernah murka kecuali kepada mereka yang merusaknya. Hutan digunduli, sungai dipersempit, dan gunung dilukai ruda paksa. Tetapi begitu air mencari jalan pulang, langitlah yang dituding, bukan tangan-tangan yang membiarkan semua itu terjadi.
Hujan terlalu sering menjadi tersangka. Ia didakwa tanpa bukti, sementara para pemutus kebijakan menyelinap di belakang kerumunan, menunggu riuh itu mereda. Hujan dijadikan biang keladi, padahal ia hanya membuka apa yang telah lama ditutup-tutupi: perizinan serampangan, pengawasan lemah, dan rakusnya eksploitasi ruang hidup. Air bukan pelaku; ia saksi yang jujur.
Di Aceh dan Sumatra, ketika air naik, suara para pemutus justru berusaha tenggelam. Mereka berbicara tentang cuaca global dan perubahan iklim. Mereka gunakan istilah-istilah besar yang kerap digunakan untuk menutupi fakta bahwa banyak bencana lahir dari keputusan mereka yang salah. Tidak satu pun mengaku: “Kami sengaja mengorbankan lingkungan.” Sebaliknya, mereka menyebut bencana ini “hanya ngeri di media sosial,” seolah yang hanyut, teengglam, bahkan mati itu kata-kata wacana, bukan manusia. Seakan jumlah ratusan hanya bilangan yang mereka sebut ketika mereka menghitung keuntungan transaksi dosa merek
Dan dalam sunyi itulah bencana menemukan ruangnya: negeri yang sibuk mencari korban, tetapi tak sanggup mencari pelaku. Jari-jari mudah menuding langit, namun gemetar ketika harus diarahkan ke muka sendiri.
Pemimpin Tanpa Cermin
Masalah Pertiwi bukan kurangnya pejabat, melainkan kurangnya pejabat yang berani bercermin. Di ruang-ruang kekuasaan, cermin rupanya tidak mereka butuhkan. Para pemutus tampil meyakinkan dalam rapat darurat, tetapi yang mereka pikirkan adalah bagaimana menghindari tuduhan. Ketika rumah hilang terseret arus, mereka sibuk mencari kata yang aman, bukan kebenaran yang perlu diakui. Ketika masyarakat mendengarkan bunyi terompet kematian untuk diri dan keluarga, pemutus justru mengatakan kalau kengerian Aceh dan Sumatra hanya di medsos.
Mereka datang dengan rompi oranye, memegang mikrofon, mengucapkan salam, dan memantik resonansi seolah mereka paling peduli. Ketika ada yang datang memanggul karung beras, mereka tak lebih dari upaya menutup jejak perusakan yang pernah dibuatnya.
Karena itu, masyarakat tak boleh menunggu cermin itu bekerja. Wajah-wajah rakyatlah yang harus menjadi pantulan terbaik. Para relawan harus datang sebelum sirine berbunyi. Mereka harus berbagi makanan yang tersisa, membersihkan puing, hingga memanggul jasad tetangga tatkala ditemukan tak lagi bernyawa. Ketika pemimpin tak mau bercermin, rakyatlah yang memantulkan martabat kemanusiaan negeri ini.
Mana yang betul publik tahu: alam yang bergerak agresif cepat atau para pemutus yang lamban bergerak. Fakta yang tersaji jelas, bahwa banjir bergerak lebih cepat dari realisasi janji pejabat. Sungai meluber dalam semalam, tetapi rencana penataan DAS (Daerah Aliran Sungai) bisa bertahun-tahun tersangkut birokrasi. Jalan putus dalam hitungan menit, tetapi mitigasi bencana tersendat dalam rapat yang tak kunjung selesai.
Rakyat Saling Menguatkan
Di Aceh dan Sumatra, janji-janji kembali ditebar. Indah dari jauh, tetapi tak punya aroma hidup, seperti bunga plastik yang ditancapkan di kuburan ketidakpedulian. Para pemutus itu bicara tentang masterplan, padahal kemampuan dasar menjaga ruang hidup pun masih jauh dari memadai. Ada yang hendak melakukan audit izin tambang dan ada pula yang akan melakukan evaluasi besar perambahan hutan. Semuanya baru sebatas “akan”, jauh tertinggal dari waktu karena kenyataan telah meluluh lantakkan mimpi buruknya.
Sementara itu, rakyat bergerak dengan keikhlasan yang tak pernah muncul di podium. Di saat pemutus melakukan fun walk, rakyat justru bergerak cepat menembus dan badai menyiapkan dapur umum, mengevakuasi lansia, membersihkan masjid dan sekolah, serta berbagi selimut dan makanan. Masyarakat mengalir lebih jernih dan nyata daripada semua janji pejabat. Barangkali karena itu negeri ini masih bertahan—karena rakyat tidak pernah menunggu perintah untuk menjadi manusia.
Selama pengakuan “bersalah” tidak pernah keluar dari mulut para pemutus, selama tanggung jawab dianggap ancaman, bukan amanah, maka bencana akan terus menemukan jalannya. Untuk itu publik tidak perlu menanti pengakuan yang tidak mungkin datang. Publik cukup menggunakan diri mereka (pemutus) sebagai cermin moral untuk anak-anak generasi kita bahwa kepemimpinan dapat menjadi bencana bila nurani diletakkan di tempat yang salah.
Untuk Aceh, Sumatra, dan belahan bumi Nusantara lain, publik tidak boleh tenggelam dalam kegetiran ini. Publik masih punya kekuatan yang tidak bisa diruntuhkan: gandengan tangan saling menguatkan. Anak-anak Pertiwi harus bisa saling menguatkan, membangun kembali harapan, dan menjaga agar kemanusiaan tetap berdiri meski berada di tanah rapuh. Nurani harus tetap bersih suci, meski tangan dan kaki penuh lumpur; dan memastikan Pertiwi ini terjaga meski para pemimpinya sunyi tanggung jawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
