Curah Hujan Tinggi Bukan Kambing Hitam: Banjir Aceh dan Jejak Manusia yang tak Bisa Disembunyikan
Info Terkini | 2025-12-09 11:58:08Setiap kali banjir datang, kalimat yang paling cepat muncul adalah “intensitas hujan tinggi.” Ia seolah menjadi alasan serbaguna yang langsung menutupi persoalan sebenarnya. Namun, banjir besar di Aceh minggu ini menunjukkan sesuatu yang lebih serius: bukan sekadar hujan, tetapi kerusakan tata ruang dan lingkungan yang tak lagi bisa disembunyikan.
Setiap kali banjir datang, kalimat yang paling cepat muncul adalah “intensitas hujan tinggi.” Ia seolah menjadi alasan serbaguna yang langsung menutupi persoalan sebenarnya. Namun, banjir besar di Aceh minggu ini menunjukkan sesuatu yang lebih serius: bukan sekadar hujan, tetapi kerusakan tata ruang dan lingkungan yang tak lagi bisa disembunyikan.
Banjir kali ini bukan hanya membawa air dan lumpur, tetapi juga kayu-kayu gelondongan dalam jumlah besar. Warga menemukan batang-batang pohon berserakan di jalan, tersangkut di jembatan, bahkan menumpuk di halaman rumah. Kayu-kayu itu tidak mungkin muncul begitu saja. Mereka bukan hasil dari hutan “alami,” tapi dari hutan yang sudah dipreteli, dibuka, ditebang—baik legal maupun ilegal.
Fenomena “banjir kayu gelondongan” bukan peristiwa baru. Setiap tahun, Aceh dan beberapa wilayah Indonesia mengalami pola serupa. Kuncinya selalu sama: ketika hutan hilang, bencana datang lebih cepat. Fungsi resapan air melemah, tanah tidak lagi kuat menahan longsor, dan sungai kehilangan batas wajar alirannya. Ketika curah hujan meningkat, air tidak punya tempat lagi untuk singgah selain menerjang permukiman.
Ironisnya, masyarakatlah yang pertama merasakan akibatnya—rumah rusak, akses tertutup, dan aktivitas lumpuh. Tapi akar masalahnya berada jauh lebih hulu: di meja izin, praktik pembalakan, dan kebijakan tata ruang yang sering kali tumpang tindih.
Pemerintah daerah sudah menyatakan akan menyelidiki asal-usul kayu hanyut tersebut. Itu langkah baik, tetapi penyelidikan tidak boleh berhenti pada “siapa yang menebang.” Kita perlu menyoroti lebih dalam: bagaimana pengawasan dilakukan? Mengapa pembukaan lahan masih longgar? Dan kenapa ekosistem yang sudah rusak tidak mendapatkan pemulihan serius?
Aceh adalah kawasan yang diberkahi kekayaan alam melimpah. Namun jika hutan terus diperlakukan sebagai aset sekali pakai, maka setiap musim hujan akan berubah menjadi musim darurat. Kita mungkin bisa mengeringkan rumah dalam sehari, tetapi memulihkan hutan butuh waktu puluhan tahun.
Banjir di Aceh adalah alarm yang keras. Alarm yang seharusnya membuat kita bertanya ulang:Apakah pembangunan harus selalu mengorbankan benteng alami kita?Apakah keuntungan sesaat pantas dibayar dengan bencana tahunan?
Pada titik ini, tidak cukup hanya berkata “semoga ke depan tidak terulang.” Yang kita butuhkan adalah tindakan tegas, pemulihan ekosistem, serta keberanian politik untuk menolak perusakan lingkungan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
