Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lovely Ifthinah Felicia

Ketika Kayu Gelondongan Turun Bersama Banjir: Tanda Bahwa Hutan Aceh Sedang Menjerit

Info Terkini | 2025-12-09 11:41:55

Fenomena banjir yang membawa tumpukan kayu gelondongan di Aceh seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Foto-foto pascabanjir memperlihatkan bagaimana kayu-kayu itu berserakan di desa, menghalangi jalan, memenuhi sungai. Itu semua bukan kayu yang tiba-tiba jatuh dari langit.

Sumber : Google

Kayu-kayu tersebut adalah jejak nyata dari tangan manusia. Hutan dibuka, pepohonan ditebang, baik lewat izin resmi maupun praktik ilegal yang dibiarkan berlarut. Saat hujan besar turun, area resapan air yang dulunya kuat kini tak lagi berfungsi. Akibatnya, air bah membawa serta apa pun yang tersisa dari hutan yang terkikis.


Ketika arus makin kuat, kayu gelondongan itu tidak hanya menjadi sampah banjir, tetapi juga berubah menjadi ancaman: menghancurkan rumah, melukai warga, menghidupkan kembali trauma. Banjir bukan lagi sekadar bencana, melainkan refleksi dari rusaknya tata kelola lingkungan di daerah tersebut.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Kita tidak bisa terus menimpakan semuanya pada alam. Ada peran manusia yang tidak bisa dihindari. Pembalakan legal ataupun ilegal yang tak memperhitungkan daya dukung lingkungan menjadi akar dari persoalan ini.


Saat pohon yang seharusnya menahan tanah dan menyerap air digantikan oleh kayu gelondongan yang dibiarkan menumpuk di hutan, bencana hanya menunggu waktunya.


Pemerintah memang sudah membentuk tim khusus untuk menelusuri asal-usul kayu yang hanyut bersama banjir. Jika ada pelanggaran, pelaku dijanjikan akan ditindak. Tetapi, penyelidikan saja tidak cukup. Kita membutuhkan perubahan nyata: pengawasan hutan yang lebih ketat, peninjauan ulang terhadap izin pembalakan, dan pemulihan ekologis yang serius.


Tanpa itu semua, Aceh dan daerah lain hanya akan mengulang pola bencana yang sama.

Banjir Kayu : Sinyal Keras untuk Kita Semua

Bagi warga yang berada langsung di tempat kejadian, tumpukan kayu itu adalah ancaman langsung. Bagi sebagian pejabat, mungkin hanya angka dalam laporan. Tetapi bagi kita sebagai bangsa, ini adalah kesempatan untuk bertanya:


1. Sampai kapan pembangunan dijalankan tanpa menghitung dampak ekologis?
2. Berapa banyak hutan harus hilang sebelum sungai tak sanggup lagi menahan luapan air?
3. Apa kita rela generasi berikutnya hidup di tanah yang terus menerus dihantam banjir dan longsor?
Aceh sedang memberi pesan penting: ketika kita melemahkan alam, maka alam akan melemahkan kita.

Saatnya Memilih Masa Depan yang Lebih Waras


Banjir di Aceh bukan sekadar cerita lumpur dan air. Ini adalah bukti bahwa pilihan-pilihan yang kita buat hari ini, soal izin, soal eksploitasi, dan soal pembiaran itu dapat berdampak besar pada hidup orang banyak.


Kayu gelondongan yang menabrak rumah warga adalah cermin dari cara kita memperlakukan hutan. Jika kita ingin Aceh pulih dan bencana tidak terus berulang, kita harus lebih dari sekadar prihatin: kita harus menuntut perubahan.


Mengembalikan fungsi hutan, memperketat pengawasan, menghentikan pembalakan liar, dan memulihkan wilayah yang rusak bukan lagi opsi, tetapi kewajiban.


Pada akhirnya, hutan adalah pelindung kehidupan. Jika pelindung itu hancur, maka kita pun kehilangan masa depan.
Semoga kita tidak menunggu bencana berikutnya untuk sadar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image