Reformasi Kebudayaan: Momentum yang tak Bisa Ditunda
Kultura | 2025-12-02 22:28:00
Indonesia tengah memasuki fase sejarah yang ditandai tiga tekanan besar sekaligus: krisis iklim, percepatan industrialisasi, dan transformasi digital yang mengubah cara masyarakat belajar, bekerja, serta berinteraksi. Dalam situasi ini, kebudayaan sering diperlakukan sebagai sektor tambahan—pengisi acara, pendukung pariwisata, atau ruang seremonial. Padahal kebudayaan sesungguhnya merupakan infrastruktur strategis yang menentukan ketahanan sosial, ekologis, dan inovasi bangsa.
Kesadaran ini semakin mendesak ketika bencana ekologis yang melanda berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan alam hari ini bukan hanya masalah teknis. Ia adalah krisis budaya. Banjir bandang dan longsor berulang di Aceh, Tapanuli, dan Sumatra Barat memperlihatkan bagaimana hilangnya tata nilai lokal, melemahnya lembaga adat, dan rusaknya etika pengelolaan ruang hidup membuka jalan bagi perusakan ekosistem hulu: galian C tak terkendali, pembalakan liar, dan tata ruang yang lebih tunduk pada modal dibandingkan daya dukung lingkungan.
Jika ada pagar moral bagi alam yang selama ini menjaga keseimbangan, pagar itu kini runtuh.
Dalam banyak masyarakat di Nusantara, hubungan manusia-alam bukan sekadar urusan teknis, tetapi sistem nilai. Panglima Laot di Aceh, hukum nagari di Sumbar, sistem subak di Bali, tata kelola sasi di Maluku, hingga berbagai kearifan pesisir dan agraris lainnya bekerja sebagai mekanisme sosial-ekologis yang terbukti menjaga keberlanjutan ruang hidup selama berabad-abad. Kini, banyak di antaranya kehilangan peran karena tidak terintegrasi ke dalam kebijakan pembangunan modern.
Kita lupa bahwa warisan budaya bukan hanya tarian, musik, atau ritual—melainkan pengetahuan ekologis masyarakat yang menjadi benteng pertama menghadapi krisis iklim.
Di saat ancaman ekologis meningkat, arsitektur kebudayaan nasional masih bergerak dengan logika proyek jangka pendek. Dukungan negara terhadap kebudayaan meningkat dalam satu dekade terakhir, termasuk melalui skema pendanaan baru yang bersifat nasional. Namun tanpa reformasi tata kelola yang jelas, responsif, dan berpihak pada keberlanjutan, upaya pembiayaan saja tidak cukup. Tantangannya bukan sekadar menambah program, tetapi merumuskan cara negara mengelola kebudayaan sebagai aset strategis jangka panjang.
Untuk itu, Indonesia memerlukan reformasi kebudayaan yang berdiri di atas empat pilar.
Pertama, kebudayaan harus dipahami sebagai infrastruktur pengetahuan ekologis.
Bukan hanya ekspresi seni, melainkan sumber strategi adaptasi masyarakat terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Negara perlu mengintegrasikan pengetahuan adat dan praktik seni sebagai bagian dari mitigasi risiko, konservasi, dan pembangunan wilayah.
Kedua, ekosistem kebudayaan harus bergerak dari pendekatan event-based ke pendekatan capacity-based.
Yang kita perlukan bukan hanya festival atau hibah proyek, tetapi penguatan kelembagaan adat, rumah-rumah budaya, sanggar tradisi, serta pusat dokumentasi yang bekerja sepanjang tahun dan lintas generasi.
Ketiga, diperlukan jembatan yang solid antara komunitas budaya, lembaga penelitian, dan universitas.
Inovasi masa depan akan lahir dari perpaduan antara pengetahuan lokal dan sains modern. Model kolaboratif seperti laboratorium budaya, riset bersama komunitas adat, serta penggunaan teknologi digital untuk arsip dan revitalisasi harus menjadi arus utama.
Keempat, tata kelola kebudayaan harus bertumpu pada prinsip transparansi, inklusivitas, dan kepastian hukum.
Kebijakan yang berubah mendadak, prosedur yang tidak seragam, atau akses yang tidak merata akan menghambat kepercayaan publik. Sektor kebudayaan bekerja dengan modal sosial, dan modal sosial tidak tumbuh dalam ketidakpastian.
Reformasi ini bukan sekadar pembenahan administrasi. Ia adalah fondasi untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan identitas, tidak kehilangan pengetahuan ekologisnya, dan tidak kehilangan kemampuan untuk berinovasi di tengah krisis global. Tanpa perubahan sistemik, kita berisiko menyaksikan semakin rapuhnya kohesi sosial, semakin parahnya bencana ekologis, dan melemahnya daya cipta bangsa.
Sebaliknya, bila kebudayaan ditempatkan sebagai strategi pembangunan nasional—bukan sebagai ornamen—Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan model pembangunan yang unik, berakar kuat pada nilai, dan tetap adaptif terhadap perubahan zaman.
Momentum reformasi kebudayaan ini tidak bisa ditunda. Bukan karena kita kekurangan program, melainkan karena masa depan Indonesia bergantung pada cara kita menjaga ingatan, pengetahuan, dan nilai yang selama ini menjadi dasar keberadaban kita.
Kebudayaan bukan sekadar apa yang kita warisi—tetapi apa yang kita gunakan untuk bertahan dan melompat ke masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
