Tindak Destruktif sebagai Alternatif
Politik | 2025-12-02 15:28:06Melihat kondisi akhir-akhir ini, hampir seluruh media cetak dan elektronik memberitakan tentang aksi demonstrasi yang berujung ricuh, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa dan berbagai kerusuhan, kerusakan, hingga penjarahan. Demonstrasi yang terjadi dilakukan akibat banyaknya tuntutan dari rakyat ke pemerintahan dan aparat. Kericuhan yang terjadi, diakibatkan oleh kemarahan masyarakat karena demonstrasi yang terjadi di hari-hari kemarin tidak kunjung mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat dan aparatur. Ada banyak korban jiwa dari pihak demonstran dan aparat.
Hal ini memang sulit untuk dicegah atau dihindari, mengingat emosi khalayak masyarakat umum yang memang sangat membara dan heterogen, terlebih lagi secara empiris dibuktikan bahwa revolusi yang besar cenderung memakan korban jiwa yang tak sedikit. Kerusakan fasilitas umum rupanya sulit untuk dihindari, bangunan dan blokade yang didirikan oleh negara untuk melindungi kuasanya luluh lantah dalam tangan demonstran yang lapar. Nyatanya, masyarakat dari kelas menengah ke bawah memang sangat rentan untuk dihasut atau dimanipulasi untuk menjarah sesama golongannya — teknik usang yang selalu dilakukan oleh negara, namun ternyata juga selalu berfungsi meskipun pada era dewasa ini.
Demonstrasi bertujuan untuk “menggulingkan” atau setidaknya mengubah aturan-aturan yang tidak masuk akal dalam konstitusi. Ironisnya, rasanya cukup wajar melihat fakta bahwa banyak peraturan dan kebijakan negara yang tidak memihak atau bahkan membunuh sipil, yang mana seharusnya pemerintah-lah yang dapat merepresentasikan kebutuhan sipil tersebut. Jika kita melihat kondisi tersebut, sebenarnya siapa yang salah atau benar tidak dapat ditentukan dari satu pandangan saja. Di sini saya akan membahas lebih dalam tentang isu pembakaran atau tindak destruktif yang digadang-gadang merupakan ulah provokator.
Ada suatu pandangan yang menurut saya menarik, bahwa semua bahasa atau cara boleh dilakukan untuk melawan penindasan atau kejahatan. Melakukan segala cara agar suaranya terdengar sudah menjadi kebiasaan mereka. Contohnya membakar fasilitas umum, mencoret tembok, dan lain-lain. Mereka berpikir bahwa bumi kita juga sudah dirusak oleh kaum kapitalis dan orang-orang berprivilege seperti pemerintah dan lainnya. Hutan-hutan yang dirusak demi tambang untuk memperkaya orang yang sudah kaya, pabrik yang dibangun dari pembongkaran rumah masyarakat, mereka (‘kelas menengah dan kaum atas’) tidak pernah peduli akan hal itu. Tapi mereka lah yang paling keras menolak fasilitas umum terbakar atau rusak. Mereka merasa fasilitas yang dibutuhkan untuk mereka berangkat kerja dan memperkaya diri mereka telah dihancurkan oleh ‘kaum bawah’.
Di sisi lain, ada sebuah quotes dari Christopher Dawson yang pernah saya baca, "As soon as men decide that all means are permitted to fight an evil, then their good becomes indistinguishable from the evil that they set out to destroy". Bahwa jika manusia memutuskan untuk melakukan hal apapun yang mereka percayai dibolehkan untuk melawan kejahatan atau penindasan, maka kebaikan mereka akan sulit dibedakan dengan kejahatan atau penindasan yang mereka lawan. Perkataannya melawan pandangan bahwa manusia diciptakan untuk melawan penindasan dengan segala cara dan bahasa selayaknya makhluk hidup dan makhluk sosial. Manusia bisa diibaratkan sebagai seekor hyena yang kelaparan, mencari kelompok untuk mengambil makanannya yang direbut oleh penguasa.
Namun, kaum ‘kelas menengah’ sering mengatakan bahwa semua tindak pembakaran fasilitas umum adalah aksi yang terencana oleh aparat. Pernyataan ini biasanya muncul dari kaum menengah ke atas, mungkin dikarenakan mereka tidak terdampak secara langsung atau serius. Sedangkan di lain sisi, kaum menengah ke bawah benar-benar marah sehingga berpikiran untuk merusak fasilitas umum. Mereka berangkat dengan perut yang kosong, kelaparan, kehausan, hanya bermodal badan dan amarah untuk melawan peraturan yang jahat. Berbanding terbalik dengan kaum menengah yang hanya bersuara agar terlihat melek isu sosial padahal juga menjilat pemerintah. Hal ini tentu menjadi curveball bagi demonstran, karena jika semua orang berpikir bahwa tindak destruktif adalah ulah aparat, maka kemarahan para demonstran akan dianggap tidak serius. Perang horizontal ini lagi-lagi membuat aksi demonstrasi tidak berjalan dengan seharusnya. Pemerintah yang seharusnya menjadi musuh utama terasa dilupakan oleh para demonstran. Para demonstran sibuk berperang dengan sesamanya.
Demonstrasi damai hanya angan-angan belaka karena pada dasarnya kemarahan besar khalayak umum adalah kelelahan, dendam, kekecewaan, dan kesedihan pada negara beserta jajarannya yang telah terakumulasi bertahun-tahun tak terdengar. Mereka benar-benar sudah muak dengan demonstrasi “damai” hari-hari sebelumnya yang tidak pernah digubris oleh pemerintah dan aparatur, kenyataan miris yang selalu tidak kita hiraukan juga sebagai individu yang sebenarnya dalam satu barisan bernama “korban”. Pembelaan oleh aparat pembunuh demonstran tidak bisa diterima oleh akal sehat sebagai manusia, apalagi oleh publik heterogen yang sedang penuh kemarahan. Pembunuhan, penculikan dan pengancaman sipil yang bersuara dengan lantang demi ruang hidup dan sesuap nasi bukanlah solusi dari semua ini. Konflik horizontal juga perlu diwaspadai agar tujuan demonstrasi sesungguhnya dapat tercapai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
