Integrasi Politik di Era Digital: Tiktok, Twitter, dan Demokrasi yang Terfragmentasi
Politik | 2025-12-07 17:25:54Di era digital saat ini, politik tidak lagi berlangsung di ruang debat parlemen atau halaman surat kabar, melainkan di layar-layar kecil yang kita genggam setiap hari. Dua platform yang menonjol dalam fenomena ini adalah TikTok dan Twitter (sekarang X)—dua medium yang sama-sama membentuk cara publik memahami, menyebarkan, dan memaknai politik.
Namun, alih-alih menghadirkan integrasi politik yang sehat dan dialogis, kehadiran kedua platform ini justru menghadirkan paradoks: mereka menyatukan warga negara dalam arus informasi yang cepat, tetapi sekaligus memecahnya dalam gelembung opini yang saling bertabrakan.
TikTok telah menjadi panggung baru bagi politik, terutama di kalangan generasi muda. Dengan format video pendek dan algoritma berbasis minat, TikTok memungkinkan pesan politik menyebar secara masif tanpa harus melalui filter media konvensional.
Politisi kini tidak cukup tampil di televisi; mereka harus bisa menari, bercanda, atau membuat “konten relate” agar diterima publik digital. Akibatnya, politik menjadi semakin personal, bahkan emosional—bukan lagi soal ideologi atau program kerja, melainkan tentang persona dan engagement. Namun, di balik kedekatan semu itu, terdapat risiko besar: simplifikasi politik. Isu-isu kompleks direduksi menjadi potongan visual 15 detik yang lebih menekankan sensasi ketimbang substansi. Akibatnya, ruang refleksi publik kian menipis.
Berbeda dengan TikTok yang menekankan visual dan emosi, Twitter lebih banyak berperan sebagai arena wacana politik yang cepat dan argumentatif. Di sini, politik bertransformasi menjadi kompetisi narasi: siapa yang lebih cepat, lebih tajam, dan lebih berani bersuara.
Twitter memungkinkan integrasi politik melalui percakapan lintas kelompok, tapi juga memperdalam jurang polarisasi. Algoritma memperkuat keterlibatan dengan menonjolkan konflik—semakin ekstrem opininya, semakin besar pula jangkauannya. Akibatnya, ruang publik digital sering kali berubah menjadi ajang pertempuran identitas, bukan deliberasi rasional.
Integrasi politik di era digital seharusnya tidak dimaknai sebagai penyatuan opini, melainkan sebagai pembukaan ruang komunikasi yang sehat antara berbagai pandangan. TikTok dan Twitter memiliki potensi besar untuk itu, asalkan dikelola dengan kesadaran literasi digital dan etika politik yang kuat.
Beberapa langkah konkret bisa diambil:
1. Mendorong edukasi politik digital, agar masyarakat memahami konteks dan dampak dari konten politik yang mereka konsumsi.
2. Meningkatkan transparansi algoritma, supaya publik tahu bagaimana informasi politik diprioritaskan atau disembunyikan.
3. Mengembangkan regulasi platform yang adil, tanpa mengekang kebebasan berekspresi.
Politik digital seharusnya tidak berhenti pada like dan retweet, tetapi menjadi pintu masuk bagi partisipasi yang lebih bermakna.
Integrasi politik di era TikTok dan Twitter menuntut lebih dari sekadar kehadiran di media sosial. Ia menuntut kesadaran baru tentang bagaimana teknologi membentuk persepsi, emosi, dan bahkan pilihan politik kita.
Jika tidak diimbangi dengan literasi dan tanggung jawab digital, kita berisiko menciptakan demokrasi yang hanya viral, tapi tidak substantif.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
