Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sa'ida Syahrozat Kamila

Mengapa Cacingan Masih Mengancam?

Eduaksi | 2025-12-02 00:32:34
Sumber foto: http://newspaper.li/static/7cddbddc2e5cdd7ed6219535263a4054.jpg

Kematian tragis seorang balita berusia empat tahun bernama R di Sukabumi akibat infeksi cacing gelang yang parah seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Penyakit cacingan bukanlah hal asing. Sejak kecil, kita telah diajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan rutin mengonsumsi obat cacing sebagai langkah sederhana namun efektif untuk mencegah infeksi yang berpotensi membahayakan tubuh.

Namun, kenyataan pahit tetap menghantui. Di tengah kemajuan zaman, anak-anak seperti R masih menjadi korban dari penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan ditangani. Bahkan, cacing yang ditemukan dalam tubuhnya mencapai panjang 15 sentimeter dan menyebabkan askariasis—infeksi usus yang dipicu oleh cacing gelang bernama Ascaris lumbricoides. Ini bukan sekadar penyakit masa silam, melainkan ancaman nyata yang masih membayangi anak-anak Indonesia.

Secara geografis dan iklim, Indonesia memang rentan terhadap penyakit cacingan karena kondisi tropis dan kelembaban tinggi. Namun, faktor lingkungan bukan satu-satunya alasan mengapa kasus cacingan masih terus bermunculan. Ada sejumlah faktor lain yang turut memperparah situasi ini. Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit cacingan dan penyebabnya. Bagi sebagian orang, cacingan masih dianggap sebagai penyakit ringan yang tidak perlu penanganan serius seperti penyakit kronis lainnya. Padahal, infeksi cacing dapat mengganggu aktivitas harian dan pertumbuhan anak. Dalam kasus ekstrem, cacingan bisa menimbulkan komplikasi serius pada organ tubuh hingga menyebabkan disfungsi dan berujung pada kematian.

Jika ditinjau dari sisi kesadaran masyarakat terhadap faktor penyebab cacingan, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hanya 20 persen penduduk Indonesia yang benar-benar peduli terhadap kebersihan dan kesehatan, atau sekitar 52 juta jiwa. Sementara itu, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang memenuhi standar hanya mencapai 59,8 persen. Kebiasaan hidup sehat seperti mencuci tangan baru dijalankan oleh separuh masyarakat, dan masih ada 20 persen yang belum terbiasa menyikat gigi secara rutin.

Faktor kedua adalah ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan. Anak-anak yang tinggal di wilayah terpencil, berasal dari keluarga kurang mampu, atau hidup dalam lingkungan rentan sering kali tidak terjangkau oleh program kesehatan. Berdasarkan Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, sebanyak 42,4 persen masyarakat pedesaan merasa kesulitan untuk menjangkau rumah sakit. Bahkan, 36,8 persen masyarakat masih mengalami hambatan dalam mengakses fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas. Selain itu, distribusi tenaga medis di Indonesia juga belum merata. Prof. Dr. Nano Prawoto, SE., M.Si., Wakil Rektor Bidang SDM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan bahwa 70 persen dokter berada di Pulau Jawa, sementara hanya 30 persen yang tersebar di luar Jawa.

Faktor ketiga adalah belum optimalnya pelaksanaan program kesehatan oleh pemerintah. Meski anggaran kesehatan terus meningkat dan berbagai program strategis telah dijalankan, distribusi tenaga medis masih belum merata sehingga penyuluhan kesehatan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa tanggung jawab tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap program kesehatan juga masih rendah. Sebagai contoh, program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) telah dilaksanakan, tetapi kesadaran masyarakat untuk mencegah cacingan masih minim. Penanganan kasus pun sering dilakukan secara mandiri tanpa pengawasan tenaga medis.

Kisah balita R menjadi pengingat bahwa cacingan bukanlah penyakit yang bisa dianggap remeh. Ini adalah persoalan preventif yang nyata, dan kesadaran masyarakat menjadi kunci utama. Kita perlu memperkuat edukasi kesehatan, memastikan distribusi obat cacing tepat sasaran, serta menjaga kebersihan lingkungan demi melindungi anak-anak. Lebih dari itu, setiap individu memiliki peran penting dalam menanamkan kebiasaan hidup bersih dan sehat.

Tragedi seperti ini tidak boleh terulang. Kesadaran kolektif, perhatian terhadap kesehatan anak, dan tanggung jawab bersama dapat menyelamatkan generasi mendatang dari ancaman penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Pemerintah perlu memperluas cakupan program kesehatan hingga ke pelosok negeri dan melibatkan komunitas lokal dalam edukasi sanitasi. Masyarakat juga harus aktif menanamkan kebiasaan hidup bersih, seperti mencuci tangan dan rutin mengonsumsi obat cacing. Media dan lembaga sosial memiliki peran penting dalam mengangkat isu ini sebagai kampanye publik yang berkelanjutan, bukan sekadar berita viral yang cepat terlupakan. Kesadaran publik, perhatian terhadap kesehatan anak, dan tanggung jawab kolektif adalah fondasi utama untuk melindungi generasi masa depan dari penyakit yang lahir akibat kelalaian bersama. Kita tidak boleh menunggu korban berikutnya untuk bertindak. Setiap anak berhak tumbuh sehat dan aman, bebas dari ancaman penyakit yang seharusnya bisa dicegah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image