Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ghaziyah adzimah

Sendu di Balik Pintu: Gejolak Budaya dan Kesehatan Mental Warga Rusunawa

Humaniora | 2025-12-12 12:20:45
Gambar Ilustrasi

Bayangkan suasana sore yang begitu hangat di sebuah kampung padat penduduk di Jakarta atau Surabaya. Aroma masakan tetangga mewangi tercium sampai ke jalan. Pintu-pintu rumah yang terbuka lebar. Ibu-ibu yang bercakap-cakap di teras, sementara anak-anak berlarian di gang sempit namun menyenangkan.

Kini, bayangkan suasana hangat itu berubah dingin, hilang, dan lenyap dalam sekejap.

Warga yang sama kini harus berpindah ke sebuah gedung beton bertingkat. Lorong-lorong panjang dan lengang. Pintu-pintu unit yang ditutup rapat demi privasi atau keamanan. Suara tawa tergantikan oleh gema langkah kaki di selasar yang dingin menusuk.

Culture Shock: Dari pintu terbuka ke Lorong Sunyi

Bagi sebagian besar warga relokasi, pindah ke Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) bukan sekadar pindah kasur. Ini adalah culture shock yang luar biasa hebat. Di balik tuturan "hidup yang lebih layak" secara fisik, ada harga mahal yang harus dibayar: kesehatan mental mereka.

Mengutip riset dalam Jurnal Paradigma UNESA mengenai dampak sosial relokasi, ditemukan bahwa perubahan lingkungan fisik secara drastis mengubah tatanan norma sosial warga. Warga yang sebelumnya memiliki ikatan kekeluargaan di kampung, dipaksa beradaptasi dengan pola ikatan yang individualis.

Seringnya kita terpukau dengan fisik bangunan rusunawa yang megah dibanding perkampungan padat kota. Namun, dalam lensa sosiologi Kesehatan, hunian sehat bukan hanya soal atap yang tidak bocor atau lantai keramik.

Mental health dan kualitas interaksi sosial adalah fondasi vital yang sering dilupakan dalam desain perumahan publik kita. Perubahan dari pola hidup horizontal (perkampungan) ke vertikal (gedung rusunawa) menciptakan stressor atau tekanan psikologis yang riil.

Hilangnya Tetangga dan Ancaman Kesepian

Masalah pertama adalah runtuhnya jaring pengaman sosial. Di kampung, tetangga adalah saudara beda ibu. Jika ada warga yang sakit atau kurang beras, bantuan datang dalam hitungan detik lewat pintu yang tak pernah dikunci.

Namun, bangunan vertikal rusunawa mengubah segalanya. Riset yang dilakukan oleh Van, dalam Jurnal Vitruvian (2017) meng-highlight bagaimana pola pemanfaatan ruang di Rusunawa Jatinegara Barat justru membatasi interaksi alamiah tersebut. Koridor atau selasar yang di depan unit hunian yang seharusnya menjadi ruang interaksi, seringkali gagal berfungsi. Desain selasar yang sempit dan memanjang justru membuat warga enggan berlama-lama di luar.

Akibatnya, interaksi tetangga sebelah pintu menurun drastis. Warga yang sudah biasa guyub, tiba-tiba merasa terasing di selasar hunian mereka sendiri. Ketika interaksi sosial menurun, rasa sepi meningkat. Bagi lansia, hal ini bisa sangat mematikan. Mereka kehilangan tempat untuk bercengkrama dan terisolasi di lantai atas yang secara medis dapat memicu depresi hingga penurunan sistem imun tubuh.

Tekanan Batin di Ruang Sempit

Masalah kedua adalah spatial mismatch, yang artinya ketidakcocokan ruang. Unit rusunawa tipe 21 atau 36 seringkali dihuni oleh keluarga besar yang terdiri dari orang tua, anak-anak, bahkan nenek-kakek.

Studi kasus yang menarik diangkat oleh A.Y.S Wibowo dkk (2022), berbicara mengenai persepsi kualitas hunian vertikal di Bandung. Ditemukan dalam riset ini bahwa annoyance akibat kebisingan dan kurangnya privasi berdampak langsung pada tingkat stres penghuni. Penelitian ini menemukan hubungan kuat antara noice annoyance dengan tingkat stres penghuni. Tembok antarunit yang tipis membuat suara dari tetangga mudah terdengar, mengganggu privasi visual dan auditif.

Bayangkan sebuah keluarga dengan tiga anak remaja harus berdesakan di ruang sempit. Konflik domestik menjadi tak terhindarkan karena ketiadaan ruang personal bagi setiap anggota keluarga. Ayah dan ibu lebih mudah stres, sementara anak-anak tidak betah di rumah. Rumah yang seharusnya menjadi sanctuary, tempat berlindung, berubah menjadi sumber tekanan batin.

Nasib Anak-anak di Balik Tembok Beton

Anak-anak seringkali menjadi korban yang tak kasat mata dalam transisi ini. Di kampung, gang adalah ruang bermain tanpa batas di mana mereka berinteraksi dan belajar bersosialisasi. Di rusunawa, ruang bermain mereka dibatasi oleh kokohnya tembok beton.

Aprilia (2018) membedah isu ini lebih dalam lewat peran physical setting. Temuan riset menunjukkan bahwa ketiadaan ruang komunal yang aman di setiap lantai memaksa anak bermain di area sirkulasi (koridor/tangga) yang berbahaya, atau justru membuat orang tua melarang anak keluar unit.

Dampaknya fatal bagi perkembangan sosial anak. Mereka kehilangan fase peer group interaction. Generasi muda rusunawa berpotensi tumbuh menjadi pribadi yang lebih tertutup dan individualis, berbeda jauh dengan karakter orang tua mereka yang tumbuh di lingkungan kampung yang guyub.

Membangun Manusia, Bukan Sekadar Bangunan

Lantas, apakah kita harus berhenti membangun rusunawa? Tentu tidak. Namun, pendekatan pembangunannya yang harus diperbaiki.

Pemerintah tidak boleh hanya berperan sebagai kontraktor bangunan, tapi harus menjadi arsitek sosial. Memperhatikan kebutuhan warga rusunawa yang tidak hanya dari faktor fisiknya saja, tapi juga sosialnya. Mengacu pada berbagai temuan di atas, solusi fisik seperti penyediaan ruang komunal yang fungsional di setiap lantai dapat diusahakan, bukan hanya di lantai dasar.

Sudah saatnya kita melihat rusunawa lebih dari sekadar solusi tata kota. Ia adalah ekosistem hidup manusia. Jangan sampai niat baik memberikan hunian layak justru menciptakan sangkar beton yang memenjarakan kewarasan warganya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image