Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Farahusna Yolantanti

Kultur yang Melanggengkan Perundungan Sistemik

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-29 16:13:29
Ryan Johnson dari NPR.org

Ada sebuah tradisi yang tanpa kita sadari telah mengakar hingga menciptakan standardisasi yang bias akan makna dan tujuan.

Acap kali kita menyebutnya dengan berbagai nama yang terdengar resmi layaknya pembinaan mental, orientasi, diklat, bahkan kaderisasi. Tetapi jika kita telusuri lebih jauh, beberapa dari mereka malah menyuguhkan kekerasan yang dilegitimasi, trauma yang dinormalisasi, dan generasi demi generasi yang dididik untuk meyakini bahwa dengan tempaan yang keras, akan melahirkan mental yang kuat dan bernyali.

Disisi lain terdengar meyakinkan, tetapi jika semua orang digeneralisasi untuk menerima pelatihan dan segala tetek bengek tersebut, akankah hasilnya sama? Berbagai individu dari latar belakang berbeda, lahir dari keluarga yang berbeda, dan tumbuh dari lingkungan yang berbeda juga, akankah mereka harus mendapatkan perlakuan yang sama? Tidak semuanya akan berhasil melewati metode pelatihan yang keras dan menjatuhkan, ada kalanya sebagian malah bangkit ketika didukung dan dimotivasi untuk melangkah bersama. Maka apa hasil dari mereka yang gagal?

Empat puluh persen anak Indonesia yang bunuh diri adalah korban bullying. Enam mahasiswa meninggal dalam satu dekade akibat perpeloncoan yang tidak masuk akal. Lima ratus tujuh puluh tiga kasus kekerasan di lingkungan pendidikan hanya dalam satu tahun. Dan di balik angka-angka pilu itu, ada jutaan lainnya yang selamat, tetapi dengan jiwa yang terluka, mindset yang jatuh, dan mental yang lemah.

Lantas, mengapa kita perlu membahas hal ini?

Perhatikanlah angka-angka ini baik-baik. Angka yang cukup mengkhawatirkan untuk diabaikan untuk sekadar menjadi statistik di laporan tahunan.

KPAI mencatat, dari 91 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2020, angka itu melonjak menjadi 573 kasus pada 2024. Mayoritas korban? Anak-anak SD dan SMP, dan data ini merupakan kasus yang telah diketahui dan dilaporkan. Siapa yang tahu masih banyak kasus lain yang tidak diketahui keran mereka takut untuk melapor? Anak-anak yang seharusnya belajar membaca dan berhitung, sebaliknya malah belajar menjatuhkan mental menghancurkan hidup teman-temannya.

Di sisi lain, sembilan puluh persen siswa dari SD hingga SMP Tahun 2 melaporkan pernah mengalami perundungan. Sepuluh persen siswa Indonesia meninggalkan sekolah karena tidak tahan di-bully, dan yang paling memilukan pada 2015, empat puluh persen anak Indonesia yang bunuh diri adalah korban perundungan.

Bayangkan, dari sepuluh anak yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri, empat di antaranya adalah korban kekerasan yang terselubung, yang sering kali dianggap "biasa saja" oleh guru, orang tua, dan sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Seakan menjadi sebuah tradisi sosial, ketika mereka lulus SMA dan diantara mereka menempuh pendidikan lebih tinggi, ritual tersebut berganti nama menjadi perpeloncoan, orientasi, pembinaan mental, dan lain sbeagainya. Nama-nama yang terdengar resmi, seolah-olah kekeliruan yang terjadi di baliknya adalah bagian dari proses pendewasaan yang di legalkan.

Dalam satu dekade terakhir, setidaknya beberapa kasus telah dilaporkan. Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin meninggal setelah mengikuti ospek pada 2011. Siswa STIP meninggal usai dihajar seniornya di asrama pada 2017. Mahasiswa Politeknik Caltex Riau tenggelam setelah diminta senior mandi di sungai dengan mata tertutup pada Juni 2023. Dan paling baru, Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa FEB Unila, meninggal pada 28 April 2025 diduga dianiaya senior saat mengikuti diksar organisasi mahasiswa pencinta alam.

Sekali lagi, ini baru kasus yang tercatat.

Sepanjang tahun 2021-2024, Komnas Perempuan mencatat 82 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Delapan puluh dua perempuan muda yang datang ke kampus dengan harapan akan ilmu dan masa depan yang lebih baik, justru menemukan neraka yang dibungkus dengan dalih "tradisi" dan "solidaritas".

Kekerasan di kampus tidak hanya fisik. Ia juga psikologis, intimidasi yang disamarkan sebagai pembinaan mental dan orientasi yang berkedok perpeloncoan. Yang lebih ironis, praktik ini sering kali dilegitimasi oleh kampus sendiri, entah karena lemahnya penegakan hukum internal, atau karena ketakutan akan merusak nama baik kampus.

Jauh kita tarik dari masa kolonial, praktik perundungan dan perpeloncoan ini lahir dari akar sejarah lampau.

Pada zaman Belanda, ada tradisi yang disebut "Ontgroening" yang secara harfiah berarti "menghilangkan warna hijau" karena mahasiswa baru dianggap hijau atau belum berpengalaman. Disebutkan bahwa tujuannya adalah untuk mendewasakan dan membentuk mental, tetapi praktiknya terkesan keras.

Soe Hok Gie, salah satu intelektual muda Indonesia yang paling cemerlang, pernah menjadi korban perpeloncoan di kampusnya. Dalam catatan hariannya tanggal 20 Oktober 1961, ia menuliskan, "Ketika baru diplonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami dan dimaki-maki." Lebih dari enam puluh tahun berlalu sejak catatan Soe Hok Gie itu, dan perpeloncoan masih berlangsung. Bahkan hingga kini, ia telah bermetamorfosis menjadi lebih sistematis, lebih terorganisir, dan dilegitimasi.

JIka kita tarik garis merah, siklus ini muncul ketika mereka yang berstatus senior saat ini adalah junior masa lalu yang mengalami perlakuan sama. Mereka ingin membalas dendam kepada yang baru dengan meyakini bahwa mereka juga pernah mendapatkan hal yang sama sebelumnya. Dalih solidaritas yang sering digaungkan senior hanyalah pembenaran sepihak atas praktik senioritas mengekang kebebasan berpikir mahasiswa dari tahun ke tahun. Pada akhirnya, mahasiswa baru terbentuk dari mental yang gila hormat, harus tunduk pada senior, dan di perkaderan berikutnya berniat lebih keras dari pendahulunya.

Lalu bagaimana siklus ini berputar dari kampus ke dunia kerja?

Sederhana saja. Budaya senioritas di sebagian tempat kerja menciptakan kesempatan dan pengalaman buruk bagi junior untuk beradaptasi di dunia kerja. Ini mengubah karakter mereka menjadi rendah diri, kurang inisiatif, takut salah, tidak berani ambil keputusan. Lingkungan yang toxic dan saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain merupakan warisan dari pemikiran dan mental yang terbentuk melalui tradisi senioritas yang telah lalu.

Mengapa praktik yang jelas-jelas merugikan ini terus berulang dari generasi ke generasi?

Sebagian jawabannya ada pada budaya kolektivis yang disalahgunakan. Di Indonesia, hierarki sangat penting dalam kontak sosial yang terjadi dengan pertimbangan hierarki sosial relatif. Networking lebih penting dari skill. Mengenal seseorang seakan jauh lebih penting dari ide yang disampaikan. Hal ini diperkeruh ketika nilai-nilai kolektif seperti hormat dan solidaritas disalahartikan menjadi apatis dan diam ketika menyaksikan ketidakadilan.

Sistem hukum kita juga lemah. Ada kesenjangan besar antara hukum tertulis dan pelaksanaan hukum di lapangan. Sekolah takut reputasi rusak, maka kasus di-cover up. Kampus menunggu putusan hukum tetap untuk mengambil sikap terhadap tersangka atau bahkan menunggu kasus viral di media maya. Perusahaan? HR sering kali berpihak pada mereka yang memiliki koneksi kuat dengan petinggi perusahaan.

Kita perlu menghapus perpeloncoan dan menggantinya dengan program orientasi yang humanis. Budaya senior-junior harus diubah. Sistem orientasi seharusnya menumbuhkan rasa kekeluargaan dengan konsep kakak asuh–adik asuh agar mahasiswa baru merasa diterima dan aman, bukan merasa terancam.

Di dunia kerja, kita butuh zero tolerance policy untuk workplace bullying, HR training tentang bullying, whistleblower protection yang kuat, dan performance review yang benar-benar based on merit, bukan senioritas.

Pentingnya sebuah kampanye masif untuk mengubah mindset kolektif. "Breaking the Cycle". Melalui media sosial, kita bisa menjadi pengawas publik yang efektif jika kita semua berani bersuara.

Karena jika tidak sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan kita, siapa lagi?

"Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu" -Dewi Lestari

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image