Dari Koas hingga Dokter Gigi: Tantangan dan Pembelajaran dalam Berkomunikasi dengan Pasien
Hospitality | 2025-11-28 16:58:42Proses Menjadi Seorang Dokter Gigi
Menjadi seorang dokter gigi adalah pekerjaan yang mulia. Ada banyak tahapan yang harus dilalui oleh seseorang untuk bisa resmi menjadi dokter gigi. Mulai dari pendidikan preklinik, klinik (koas), hingga lulus dan bisa mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP). Ketika pendidikan klinik, mahasiswa koas harus belajar menangani kasus penyakit pada pasien langsung. Hal tersebut mereka lakukan agar makin terbiasa menangani pasien secara langsung. Selama pendidikan preklinik, seringnya mereka hanya belajar teori dan praktik pada gigi buatan atau pada model manusia.
Mencari Pasien Ketika Koas
Ketika koas, mahasiswa kedokteran gigi harus mencari pasien dengan kriteria penyakit gigi dan mulut yang sudah ditentukan sesuai dengan departemen pendidikan kedokteran gigi. Kriteria seperti gigi berlubang, butuh implan gigi, sariawan tak kunjung sembuh, dan lainnya. Hal yang sangat membedakan ketika koas dan sudah menjadi dokter gigi adalah ketika menghadapi permasalahan pasien. “Kalau pas Koas kan kita cari pasien sesuai requirement dan tinggal mengikuti petunjuk pengobatan, tetapi kalau sudah jadi dokter, pasien itu kan datang sendiri dengan permasalahan yang kita belum tau. Jadi, harus benar-benar menguasai cara screening yang benar,” ucap drg. Wenny ketika diwawancarai (24/10).
Penolakan Masyarakat Untuk Menjadi Pasien Mahasiswa Koas
Cara berkomunikasi dengan pasien ketika masih koas dan sudah menjadi dokter gigi juga berbeda. Ketika koas, kita harus mencari pasien sendiri dan hal tersebut tidaklah mudah. drg. Wenny mengungkapkan jika dia dahulu berjalan kaki ke desa-desa di Surabaya bersama dengan teman-temannya untuk mencari pasien. Mereka mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat. Banyak dari masyarakat yang tidak berkenan untuk menjadi pasien koas. Oleh karena itu, para koas berusaha sebisa mungkin untuk berkomunikasi dengan baik agar pasien bisa nyaman dan mengikuti pengobatan hingga tahap akhir.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat Kepada Seorang Dokter Gigi
Ketika sudah resmi menjadi dokter gigi, kepercayaan masyarakat kepada dokter tersebut tentu akan jauh lebih tinggi daripada kepercayaan mereka kepada mahasiswa koas. Masyarakat yang merasakan sakit pada giginya akan langsung pergi menemui dokter gigi dan meminta pengobatan. Sang dokter pun akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengan pasien karena merasa sudah dipercaya penuh. drg. Wenny mengungkapkan bahwa ketika mendapat banyak penolakan dari masyarakat untuk menjadi pasien koas ia tidak merasa sedih sama sekali karena masyarakat memiliki hak untuk menolak. Ketika sudah resmi menjadi dokter, ia senang karena masyarakat banyak yang percaya kepadanya untuk pengobatan gigi mereka. Komunikasi yang terjalin juga lebih baik.
Namun, drg. Wenny juga mengungkapkan kendala ia berkomunikasi dengan pasien ketika sudah resmi menjadi dokter. Ia merasakan beberapa kendala ketika menghadapi pasien lansia. Menghadapi pasien lansia membutuhkan lebih banyak kesabaran dan pengertian karena mereka harus dijelaskan dengan baik. “Kalau menghadapi pasien lansia memang lebih susah karena saya pribadi agak kaku kalau sama mereka. Beda kalau sama anak-anak, saya lebih mudah dekat dengan mereka sehingga lebih bisa menghadapi pasien anak-anak,” ucap drg. Wenny (24/10).
Cara berkomunikasi dengan pasien ketika masih koas dan sudah menjadi dokter gigi cukup berbeda. Tingkat kepercayaan yang diberikan oleh pasien turut memengaruhi proses komunikasi. Baik masih menjadi mahasiswa koas maupun sudah resmi menjadi dokter gigi, mereka akan selalu berusaha untuk menyembuhkan pasien dengan baik. Mereka akan selalu menjadi salah satu penolong masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
