5 Cara Perawat Membantu Pasien Tenang dan Kooperatif Lewat Komunikasi Terapeutik
Hospitality | 2025-12-07 11:28:45Pelayanan kesehatan bukan hanya soal medis, obat, dan prosedur klinis. Di balik setiap tindakan terdapat pasien sebagai individu yang bisa mengalami kecemasan, ketakutan, dan kebingungan terhadap kondisi yang sedang dialami. Oleh karena itu, aspek komunikasi memegang peranan penting dalam membentuk pengalaman pasien selama menjalani perawatan.
Mengacu pada salah satu riset yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Nursing (2023), komunikasi terapeutik didefinisikan sebagai interaksi komunikasi yang dilakukan secara sengaja, sadar, dan sistematis antara perawat dengan pasien, bukan sekadar transfer informasi, tetapi sebagai bagian dari perawatan holistik, yang mencakup aspek fisik, psikologis, dan emosional pasien.
Lantas, seperti apa bentuk aslinya di lapangan? Berdasarkan pengamatan praktik baik (best practice) di salah satu rumah sakit yang ada di Jawa Timur, komunikasi terapeutik tidak selalu hadir dalam bentuk percakapan panjang, melainkan tercermin dalam tindakan-tindakan kecil yang konsisten, terstruktur, dan penuh perhatian.
Berikut ini adalah 5 bentuk nyata komunikasi terapeutik yang terlihat dalam praktik perawat saat memberikan pelayanan kepada pasien.
1. "Permisi": Meminta Izin Sebelum Menyentuh
Pasien sering merasa rentan (vulnerable) saat akan menjalani tindakan medis. Perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik tidak akan langsung menyentuh tubuh pasien begitu saja. Langkah pertama selalu dimulai dengan menyapa, menanyakan kondisi terkini, dan meminta izin bahkan untuk hal sederhana seperti memegang tangan yang diinfus. Pendekatan ini memberi ruang bagi pasien untuk bersiap secara mental (fase orientasi), sehingga rasa cemas bisa berkurang drastis.
2. Transparansi: Menjelaskan, Bukan Sekadar Melakukan
Komunikasi yang efektif adalah kunci bagi ketidakpastian. Perawat tidak sekadar datang lalu menyuntikkan obat, tetapi menjelaskan: "Apa ini? Apa tujuannya? Apa efek yang mungkin terasa?". Edukasi mengenai prosedur, baik itu pemasangan kateter, injeksi, atau persiapan operasi, membantu pasien memahami hak mereka atas tubuhnya sendiri. Pasien yang paham (terinformasi) cenderung jauh lebih tenang dan kooperatif.
3. Evaluasi Berkala: Perhatian Pasca-Tindakan
Tugas perawat tidak berhenti saat jarum dicabut. Komunikasi terapeutik menuntut adanya follow-up. Perawat akan kembali untuk mengecek kondisi pasien: "Apakah posisi infusnya nyaman? Ada keluhan nyeri?". Tindakan sederhana ini mengirimkan pesan kuat bahwa pasien bukanlah "objek kerja", melainkan manusia yang kenyamanannya menjadi prioritas utama. Ini juga momen penting untuk mencegah komplikasi sejak dini.
4. Orientasi Lingkungan: Membuat Rumah Sakit Terasa Lebih "Ramah"
Rumah sakit bisa menjadi tempat yang asing dan mengintimidasi. Di sinilah peran perawat sebagai pemandu. Melalui orientasi lingkungan, perawat mengenalkan siapa dokter yang bertanggung jawab, di mana letak tombol bantuan (nurse call), hingga cara menggunakan fasilitas kamar mandi. Informasi dasar ini sangat vital untuk membantu pasien beradaptasi, merasa lebih mandiri, dan tidak merasa "hilang" di lingkungan baru.
5. Sentuhan Personal: Menghormati Latar Belakang Pasien
Tidak ada pendekatan "satu ukuran untuk semua". Komunikasi terapeutik yang matang akan menyesuaikan dengan latar belakang budaya, agama, dan tingkat pendidikan pasien. Misalnya, ketika pasien menolak tindakan sensitif seperti pemasangan kateter karena alasan privasi atau budaya, perawat akan mendengarkan dengan empati dan memberikan penjelasan alternatif yang menghormati martabat pasien. Personalisasi inilah yang membuat pelayanan kesehatan terasa benar-benar manusiawi.
Referensi:
Mersha, A., Abera, A., Tesfaye, T., Abera, T., Belay, A., Melaku, T., Shiferaw, M., Shibiru, S., Estifanos, W., & Wake, S. K. (2023). Therapeutic communication and its associated factors among nurses working in public hospitals of Gamo zone, southern Ethiopia: application of Hildegard Peplau’s nursing theory of interpersonal relations. BMC Nursing, 22(1). https://doi.org/10.1186/s12912-023-01526-z
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
