Krisis Layanan Kesehatan, Bukti Buruknya Penerapan Kapitalisme
Agama | 2025-12-07 22:48:16Krisis Layanan Kesehatan, Bukti Buruknya Penerapan Kapitalisme
Oleh: Gita Agustiana, S.Pd.
Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Dalam regulasi negara, pemerintah menjamin setiap warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan berkualitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Namun sayangnya, hak tersebut hingga kini belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat.
Dilansir dari detiknews.com, seorang wanita bernama Irene Sokoy beserta bayi dalam kandungannya meninggal dunia setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Kabupaten/Kota Jayapura, Papua, pada Minggu, 16 November 2025. Penolakan tersebut terjadi karena berbagai alasan, antara lain ruang BPJS kelas 3 yang penuh, ketiadaan dokter, serta ruang operasi yang sedang direnovasi. Lebih memilukan lagi, keluarga korban dimintai uang sebesar Rp4 juta untuk mendapatkan ruangan, sementara mereka tidak memiliki biaya. Akhirnya, Irene meninggal bersama bayinya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit terakhir.
Menanggapi peristiwa tersebut, Gubernur Papua, Matius D. Fakhiri, menyampaikan permintaan maaf dan menyebut kejadian itu sebagai akibat kelalaian jajaran pemerintah di Papua. Ia berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh dan memastikan seluruh direktur rumah sakit di bawah Pemprov Papua akan diganti. Ia juga mengungkapkan bahwa banyak peralatan medis yang rusak karena diabaikan oleh para direktur sebelumnya.
(https://news.detik.com/berita/d-8224389/ibu-hamil-dan-bayi-meninggal-usai-ditolak-4-rs-gubernur-papua-minta-maaf)
Penolakan rumah sakit terhadap pasien dalam kondisi darurat bukanlah kejadian baru. Hampir setiap daerah pernah mengalami hal serupa dengan beragam alasan. Secara umum, faktor penyebab penolakan antara lain:
1. Fasilitas penuh, seperti IGD overload, ICU penuh, atau tidak tersedianya tenaga medis spesialis.
2. Masalah administrasi, misalnya BPJS tidak aktif, tidak membawa kartu, atau belum membayar deposit.
3. Kurangnya koordinasi antar-fasilitas, di mana rumah sakit kesulitan melakukan rujukan cepat karena sistem belum terintegrasi.
Ketiga alasan tersebut sejatinya tidak dapat dibenarkan, karena tugas utama layanan kesehatan adalah menangani dan menyelamatkan pasien. Sedikit saja keterlambatan penanganan dapat berakibat fatal. Secara etika maupun hukum, rumah sakit berkewajiban memberikan pertolongan pertama dan pelayanan penyelamatan jiwa sebelum mempertimbangkan administrasi.
Semboyan mengenai pelayanan kesehatan yang berkualitas tampaknya masih jauh dari kenyataan. Justru yang terjadi adalah masyarakat semakin kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap layanan kesehatan.
Permasalahan ini tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kesehatan diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Akibatnya, mereka yang tidak memiliki uang berpotensi tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Sistem sekuler-kapitalis juga menjadikan pelayanan kesehatan sebagai bisnis berorientasi keuntungan. Hal ini melahirkan krisis layanan kesehatan yang ditandai pelayanan seadanya, lemahnya etika profesi, bahkan nyawa manusia seolah menjadi taruhannya.
Pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab negara. Mengabaikannya termasuk bentuk kezaliman. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (pemimpin negara) adalah pengurus (rā‘in) rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab penuh dalam memenuhi hak-hak rakyat, seperti pendidikan, kebutuhan dasar, keamanan, hingga layanan kesehatan. Tanggung jawab tersebut tidak dapat dialihkan kepada individu, kelompok, atau pihak swasta. Pemenuhan hak-hak ini akan terlaksana secara sempurna ketika berada dalam sistem Islam, di mana landasannya adalah hukum-hukum Allah dan pelaksanaannya dilandasi keimanan.
Dalam Islam, negara wajib menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas, cepat, dan gratis. Contohnya dapat dilihat pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa kekhalifahan Umar (13–23 H), negara membiayai pengobatan rakyat karena Umar meyakini bahwa “pemimpin adalah pelayan rakyat.” Maka dari itu, kesehatan rakyat merupakan kewajiban negara, bukan beban rakyat.
Pada masa beliau, negara menyediakan tenaga medis keliling, membawa obat-obatan langsung, mengunjungi desa-desa terpencil, serta menangani pasien di tempat tanpa biaya. Inilah sebabnya tingkat kesehatan masyarakat pada masa itu tergolong tinggi. Dalam sistem Islam, dokter dan tenaga medis juga diberi gaji yang layak sehingga mereka tidak mencari bayaran dari pasien. Hal ini membuat pelayanan menjadi cepat dan tidak diskriminatif.
Pada masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah, berdiri pula bimaristan, yaitu rumah sakit publik yang:
l gratis untuk semua (Muslim maupun non-Muslim),
l buka 24 jam,
l memiliki tenaga medis lengkap,
l menyediakan obat-obatan dari negara,
l satu pasien ditangani oleh beberapa dokter spesialis.
Ada juga layanan homecare bagi pasien yang tidak mampu datang ke rumah sakit. Semua fasilitas ini dibiayai oleh Baitul Mal, bukan dari rakyat.
Baitul Mal adalah lembaga keuangan negara dalam sistem Khilafah, tempat pengelolaan seluruh harta milik umat, baik pemasukan maupun pengeluaran, sesuai syariat Islam. Sumber pendapatannya sangat stabil dan mandiri, seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, fa’i, ghanimah, serta pengelolaan aset milik umum seperti minyak, gas, emas, air, listrik, hutan, dan padang penggembalaan. Semua ini dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, bukan kepada swasta.
Inilah potret singkat bagaimana Islam memberikan pelayanan kesehatan terbaik, cepat, dan gratis bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bukan hanya sebuah slogan, melainkan fakta sejarah yang dirasakan oleh umat manusia. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
