Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Izadin Syauqie Alfarizqi

Generasi Rebahan: Ketika Gaya Hidup Sedentari Mengancam Masa Depan Indonesia

Gaya Hidup | 2025-12-08 01:47:14

Jakarta - Di tengah hiruk pikuk kemajuan teknologi dan kemudahan akses digital, Indonesia menghadapi ancaman senyap yang datang dari sofa rumah, kursi kantor, dan layar ponsel: gaya hidup sedentari atau minim gerak yang kini menjadi "silent killer" bagi generasi muda Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan tahun 2023 mengungkapkan fakta mengejutkan: lebih dari 60% masyarakat Indonesia berusia produktif (18-45 tahun) melakukan aktivitas fisik kurang dari 150 menit per minggu, jauh di bawah standar minimal WHO. Lebih memprihatinkan lagi, angka penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas meningkat drastis pada kelompok usia muda.

Dari Warung Kopi ke Gawai: Perubahan Drastis Pola Hidup

"Dulu orang Indonesia terkenal aktif bergerak. Sekarang, dari bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitas bisa diselesaikan dari kasur," ujar dr. Andi Prasetyo, SpKO, dokter spesialis kedokteran olahraga dari RS Cipto Mangunkusumo.

Fenomena "generasi rebahan" ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, dominasi pekerjaan berbasis layar yang memaksa seseorang duduk 8-10 jam sehari. Kedua, kemudahan layanan digital yang membuat segala kebutuhan bisa dipesan tanpa bergerak dari tempat. Ketiga, kurangnya kesadaran akan pentingnya aktivitas fisik sebagai investasi kesehatan jangka panjang.

Menu Takjil hingga Midnight Snack: Perangkap Makanan Tidak Sehat

Masalah tidak berhenti pada kurang gerak. Pola makan masyarakat Indonesia juga mengalami pergeseran mengkhawatirkan. Dominasi makanan ultra-processed, tinggi gula, garam, dan lemak jenuh menjadi konsumsi sehari-hari, terutama di kalangan generasi Z dan milenial.

"Saya sering lembur, jadi makannya ya yang praktis. Mie instan, gorengan, atau pesan makanan cepat saji. Olahraga? Nanti deh kalau ada waktu," ungkap Riska (28), karyawan swasta di Jakarta Selatan, mewakili jutaan pekerja muda lainnya.

Tren "mukbang" dan food vlogging yang menjamur di media sosial justru memperparah kondisi ini. Porsi besar, makanan berminyak, dan minuman manis dikemas sedemikian rupa hingga terlihat menggiurkan, tanpa informasi dampak kesehatan jangka panjangnya.

Stres Digital: Beban Mental di Era Informasi Berlebih

Ancaman ketiga yang tak kalah serius adalah beban mental dan stres yang meningkat di era digital. Tekanan pekerjaan, tuntutan sosial media, fear of missing out (FOMO), hingga paparan berita negatif terus-menerus menciptakan tingkat stres kronis pada masyarakat.

Psikolog klinis, Ratna Wijayanti, M.Psi, menjelaskan, "Stres kronis memicu produksi hormon kortisol berlebih yang berdampak pada penambahan berat badan, gangguan tidur, hingga menurunkan sistem imun. Ironisnya, banyak yang 'healing' dengan cara tidak sehat seperti makan berlebihan atau scrolling media sosial tanpa henti."

Survei Kesehatan Mental Indonesia 2024 mencatat peningkatan 40% kasus gangguan kecemasan dan depresi pada kelompok usia 20-35 tahun dibanding lima tahun sebelumnya.

Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan Hidup

Kabar baiknya, kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat mulai tumbuh, meski belum merata. Komunitas lari, gym, yoga, dan olahraga lainnya bermunculan di berbagai kota. Media sosial yang tadinya menjadi bagian masalah, kini juga dimanfaatkan untuk menyebarkan konten edukasi kesehatan.

"Kunci utamanya adalah konsistensi dan memulai dari hal kecil," saran dr. Andi. "Tidak perlu langsung marathon atau angkat beban berat. Mulai dari jalan kaki 30 menit sehari, naik tangga ketimbang lift, atau workout 15 menit di rumah sudah sangat membantu."

Untuk pola makan, fokus pada prinsip "isi piringku" dengan komposisi seimbang: setengah piring sayur dan buah, seperempat karbohidrat kompleks, dan seperempat protein. Kurangi bertahap makanan dan minuman tinggi gula serta ultra-processed food.

Mengelola stres juga sama pentingnya. Teknik sederhana seperti meditasi 10 menit, journaling, digital detox di akhir pekan, atau sekadar berkumpul dengan orang terkasih tanpa gawai bisa sangat efektif.

Investasi Terbaik: Kesehatan Hari Ini, Masa Depan Cerah Esok

Indonesia memiliki bonus demografi dengan mayoritas penduduk usia produktif. Namun, bonus ini hanya akan menjadi berkah jika generasi mudanya sehat, produktif, dan berdaya. Sebaliknya, jika tren gaya hidup tidak sehat terus berlanjut, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi dengan beban penyakit kronis yang menguras BPJS dan produktivitas nasional.

"Kesehatan bukan sekadar absen dari penyakit, tapi kemampuan untuk hidup optimal secara fisik, mental, dan sosial," tutup dr. Andi. "Investasi terbaik yang bisa kita lakukan adalah pada tubuh kita sendiri. Karena dengan tubuh sehat, semua impian dan cita-cita lebih mungkin tercapai."

Pertanyaannya: apakah kita masih akan menjadi "generasi rebahan," atau saatnya bangkit menjadi "generasi bergerak" yang sehat dan produktif?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image