Lebih dari Gerakan: Bagaimana Komunikasi Membangun Kepercayaan pada Fisioterapi
Edukasi | 2025-11-28 07:08:56Sore itu ruang fisioterapi terasa hangat oleh cahaya lampu yang memantul pada dinding putih. Suara alat terapi berbaur dengan percakapan pelan antara terapis dan pasien yang sedang mencoba menggerakkan lengan yang kaku. Di tengah suasana itu ada satu hal yang sering dianggap sepele dalam penelitian padahal justru menentukan kualitas layanan yaitu bagaimana komunikasi kesehatan dilakukan dan persetujuan tindakan yang dikenal sebagai informed consent.
Dalam penelitian praktik sehari-hari banyak mahasiswa maupun tenaga fisioterapi baru mengira bahwa komunikasi cukup dilakukan dengan memberi instruksi gerakan atau menjelaskan fungsi alat. Nyatanya proses tersebut jauh lebih dalam sebab menyangkut rasa aman dan rasa dihargai dari pasien. PSP yang memberi arah pada standar prosedur pelayanan seharusnya tidak dipandang sebagai sekumpulan aturan kaku saja tetapi sebagai pedoman yang membantu agar setiap langkah dapat dipahami oleh pasien. Ketika terapis menjelaskan apa yang akan dilakukan mengapa tindakan itu dipilih dan apa manfaat yang diharapkan pasien merasa dilibatkan bukan sekadar objek terapi. Di titik ini kepercayaan tumbuh dengan sendirinya.
Ada momen menarik ketika seorang pasien bertanya apakah gerakan tertentu akan menimbulkan rasa sakit? Terapis yang baik tidak buru-buru menjawab dengan bahasa teknis. Ia membaca ekspresi pasien lalu menjelaskan dengan nada lembut sambil memberi gambaran sederhana tentang sensasi yang mungkin muncul. Penjelasan yang jujur membuat pasien merasa aman. Sesaat kemudian muncul kesediaan pasien untuk menandatangani persetujuan tindakan. Inilah bentuk nyata bahwa informed consent bukan perkara tanda tangan melainkan hasil dari dialog yang jernih.
Tantangan terbesar justru datang ketika pasien atau keluarganya tidak terbiasa dengan istilah medis. Bila terapis tidak sabar menjelaskan maka terjadi kesenjangan pemahaman. Pasien merasa digiring dan akhirnya cemas. Padahal komunikasi efektif selalu mengandaikan kesetaraan posisi. Terapis yang mampu menjabarkan prosedur PSP secara sederhana tanpa mengurangi esensi justru sedang menunjukkan profesionalisme. Ia tidak hanya menyembuhkan tubuh tetapi juga menenangkan pikiran.
Konsep informed consent sering dipandang formalitas tetapi dalam konteks fisioterapi ia bernilai lebih. Tindakan terapi seperti mobilisasi sendi latihan fungsional atau penggunaan modalitas memiliki risiko tertentu meski kecil. Dengan memberi ruang bagi pasien untuk bertanya menolak atau meminta penjelasan ulang proses pelayanan menjadi lebih manusiawi. Ada humor tipis yang kadang muncul misalnya ketika pasien berkata semoga alatnya tidak terlalu panas dan terapis menjawab pelan kalau panasnya menyesuaikan, hati yang sedang sabar mungkin lebih terasa. Suasana yang mencair seperti ini membuat proses terapi tidak menegangkan.
Jadi, dapat diketahui bahwasannya komunikasi Kesehatan dalam fisioterapi adalah seni dalam menghadirkan kejelasan tanpa menggurui dan tanpa memaksa. PSP akan memberikan arahan agar praktik tetap konsisten. D i lain sisi, informed consent bertugas untuk memastikan setiap Langkah dilakukan dengan sepengetahuan dan kerelaan pasien. Apabila kedua hal tersebut digabungkan secara bijak dan melalui prosedur yang baik maka proses rehabilitasi bukan hanya menjadi prosedur teknis melainkan merupakan pemulihan yang hangat dan manusiawi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
