Ada yang Lebih Gelap dari Drama Artis
Humaniora | 2025-11-27 05:07:57Ada satu kebiasaan menarik dalam ruang publik kita yaitu setiap kali sebuah drama selebritas meledak, seluruh negeri seperti masuk ke ruang gema yang sama. Tajuk berita berubah, linimasa penuh analisis emosional, dan kita tiba-tiba merasa urusan ranjang orang lain lebih penting daripada urusan negara sendiri. Fenomena ini begitu sering terjadi hingga sulit meyakini bahwa semuanya kebetulan belaka. Polanya terlalu mulus. Terlalu sinkron. Terlalu tepat waktu.
Tidak perlu teori konspirasi untuk memahami ini. Dua teori sosial sudah cukup menjelaskan mengapa drama selebritas begitu efektif mengalihkan perhatian publik: agenda-setting dan society of the spectacle. Teori agenda-setting menegaskan bahwa media tidak memaksa kita berpikir apa, tetapi menentukan apa yang kita pikirkan tentang. Ketika tajuk utama diisi drama artis, maka drama itulah yang kita anggap paling penting, seolah isu lain dengan sendirinya memudar di luar sorotan.
Sementara itu, Guy Debord dalam konsep society of the spectacle menggambarkan masyarakat modern sebagai komunitas yang hidup dalam pertunjukan. Realitas diubah menjadi tontonan, dan tontonan menggantikan refleksi. Kita lebih mudah tersentuh oleh kisah personal selebritas ketimbang memahami dinamika kekuasaan yang memengaruhi harga pangan, lingkungan, atau masa depan kebijakan publik. Tontonan itu sederhana, emosional, dan tidak menuntut kelelahan berpikir. Kita pun mengikuti alurnya tanpa perlawanan.
Pada titik tertentu, hiburan tidak lagi sekadar hiburan, melainkan anestesi sosial. Ketika kecemasan terhadap politik terasa berat, drama artis menawarkan pelarian yang tidak mengancam. Ketika berita korupsi menguras tenaga, potongan video pertengkaran selebritas memberi kesenangan instan. Dalam ironi yang halus namun pedih, publik menjadi penonton yang terhibur di saat yang tidak seharusnya terhibur.
Padahal setiap menit perhatian publik memiliki nilai politik. Ketika pandangan kita dipenuhi drama kecil, drama besar sedang berlangsung tanpa kita amati. Ada izin tambang yang terbit, ada regulasi yang melenggang tanpa diskusi, ada kasus korupsi yang mendadak hilang dari pemberitaan. Semua itu terjadi sementara kita sibuk memperdebatkan siapa yang mencintai siapa dan siapa yang mengkhianati siapa.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kecerdikan sistem dalam mengalihkan perhatian, tetapi juga memperlihatkan kondisi masyarakat yang perlahan kehilangan ketajaman pandangan. Kita bukan kurang cerdas, tetapi terlalu mudah dialihkan. Kita bukan tidak peduli, tetapi terlalu terbiasa diarahkan untuk peduli pada hal yang remeh. Di sinilah luka sosial itu tampak jelas: publik yang begitu mudah terjebak pada kilau spektakel akan kesulitan menembus kabut yang menutupi realitas yang lebih gelap.
Islam menyebut kondisi ini sebagai hilangnya basirah, kejernihan batin untuk melihat hakikat di balik permukaan. Al-Qur’an menggambarkan kelompok yang “memiliki mata tetapi tidak melihat, telinga tetapi tidak mendengar, dan hati tetapi tidak memahami.” Ungkapan ini bukan celaan, melainkan peringatan tentang apa yang terjadi ketika manusia larut dalam distraksi hingga kehilangan kemampuan membaca tanda zaman. Kita lebih bersuara tentang moralitas selebritas daripada moralitas pejabat yang membuat keputusan menyangkut hidup jutaan orang.
Dalam ajaran Islam, kejernihan pandangan adalah prasyarat bagi masyarakat yang sehat. Rasulullah pernah mengingatkan bahwa umat akan binasa bukan karena kurangnya informasi, tetapi karena tidak mampu membedakan mana yang penting dan mana yang menyesatkan. Di era ketika tontonan begitu mudah diproduksi, kemampuan membedakan ini menjadi semakin krusial.
Kritik sosial bukan mengajak kita membenci hiburan. Hiburan perlu, tertawa perlu, drama pun sesekali menyenangkan. Namun masalah muncul ketika hiburan berubah menjadi tirai. Ketika tirai itu semakin sering ditarik, lama-lama kita lupa ada sesuatu yang lebih penting di baliknya. Pada saat itu, yang hilang bukan hanya kewaspadaan, tetapi martabat kolektif sebagai masyarakat yang seharusnya mampu menjaga negeri ini dengan kesadarannya.
Barangkali inilah saatnya kita mengajukan pertanyaan sederhana tetapi menentukan "apakah kita masih sanggup menahan godaan spektakel agar tidak kehilangan kemampuan untuk melihat yang penting?". Karena selama kita sibuk menonton drama kecil, ruang gelap kekuasaan akan tetap nyaman. Dan sejarah menunjukkan bahwa yang paling menderita bukan mereka yang berada di ruang gelap itu, tetapi mereka yang tidak pernah menyadari gelapnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
