Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafi Akbar

Menghidupkan Ruang Komunitas di Tengah Arus Budaya Digital

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-26 01:02:17

Beberapa tahun belakangan, jika kita memperhatikan suasana lingkungan tempat tinggal, ada perubahan yang terasa jelas. Balai warga yang dulu ramai dengan percakapan santai selepas magrib kini lebih sering terlihat gelap dan kosong. Pos ronda yang dahulu menjadi titik kumpul bapak-bapak sekadar berbagi cerita sehari-hari kini tidak lagi hidup seperti dulu. Bahkan, taman kota yang biasanya menjadi ruang bermain dan tempat berkumpul berbagai lapisan usia, kini berganti wajah menjadi tempat di mana orang-orang duduk diam sambil menatap layar ponsel.

Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat kita. Interaksi yang dulunya sangat mengandalkan pertemuan langsung, kini bergeser ke ruang digital. Sebagai mahasiswa yang tumbuh di era teknologi, saya memahami betul bagaimana perubahan ini memengaruhi cara kita menjalani kehidupan sosial. Kemudahan komunikasi digital memang menawarkan banyak manfaat, tetapi tanpa disadari, kita juga kehilangan sesuatu yang memiliki nilai besar, yaitu kehadiran dalam ruang komunitas.

Dalam budaya Indonesia, ruang komunitas bukan sekadar tempat berkumpul. Ia merupakan arena pembentukan karakter, tempat menyampaikan aspirasi, wadah menyelesaikan persoalan bersama, dan ruang untuk menanamkan nilai gotong royong. Banyak orang dewasa hari ini tumbuh dengan pengalaman ikut kerja bakti, mengikuti rapat kampung, atau sekadar mendengar cerita dari tetangga yang lebih tua. Pengalaman sederhana itu membentuk rasa kebersamaan dan keterhubungan yang kuat.

Namun dinamika tersebut kini tidak lagi menjadi pengalaman yang umum bagi anak muda. Urbanisasi dan ritme hidup yang semakin cepat membuat orang kehabisan waktu untuk terlibat dalam kegiatan komunitas. Di sisi lain, media sosial memberikan alternatif interaksi yang terasa “cukup” bagi sebagian orang, meski sebenarnya tidak menyediakan kedalaman relasi yang sama seperti pertemuan tatap muka.

Di sinilah kekhawatiran muncul: apakah budaya kolektif yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia akan melemah? Apakah kita akan beralih menjadi masyarakat yang lebih individualistis?

Jika kita amati lebih jauh, teknologi sebenarnya tidak selalu menjadi penyebab berkurangnya ruang komunitas. Justru manusia yang menentukan bagaimana ruang tersebut digunakan dan apakah ia tetap hidup. Teknologi bisa memperkaya hubungan sosial bila dimanfaatkan dengan tepat. Misalnya, banyak komunitas anak muda saat ini lahir dari diskusi di media sosial, kemudian berkembang menjadi kegiatan nyata yang memiliki dampak sosial.

Contohnya, komunitas literasi yang awalnya hanya berupa unggahan rekomendasi buku di Instagram, kini berkembang menjadi diskusi rutin yang mempertemukan banyak orang dengan minat yang sama. Hal serupa terjadi pada komunitas olahraga, seni, gerakan lingkungan, dan berbagai kegiatan kreatif lainnya. Ruang digital menjadi jembatan untuk mempertemukan orang-orang, sementara ruang fisik menjadi tempat untuk merasakan kedekatan emosional yang tidak bisa digantikan oleh layar.

Dengan kata lain, revitalisasi ruang komunitas bukan berarti menolak teknologi, melainkan mengombinasikan keduanya. Ruang digital dapat memperluas jangkauan komunitas, sementara ruang nyata menjadi tempat memperkuat hubungan.

Dalam konteks ruang fisik, penting bagi pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menyediakan ruang publik yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Ruang publik seharusnya tidak hanya menjadi tempat duduk atau berjalan, tetapi juga tempat yang memancing interaksi. Misalnya dengan menyediakan sarana kegiatan budaya, ruang diskusi, arena permainan, atau kegiatan kreatif lainnya.

Dalam hal ini, kampus sebagai lingkungan pendidikan memiliki peran krusial. Universitas bukan hanya ruang akademik, tetapi juga ruang sosial. Di Universitas Airlangga, berbagai kegiatan kemahasiswaan menjadi ruang komunitas yang mempertemukan mahasiswa dari berbagai latar belakang. Di tempat seperti inilah nilai toleransi, kolaborasi, dan kepedulian sosial tumbuh. Melalui kegiatan organisasi, diskusi kelompok, atau kegiatan sosial, mahasiswa tidak hanya belajar materi kuliah, tetapi juga memahami keragaman manusia dan pentingnya kebersamaan.

Ruang komunitas juga berperan dalam menjaga memori kolektif masyarakat. Banyak tradisi dan nilai budaya yang lahir dari interaksi langsung dari cerita orang tua, dari kebiasaan kampung, dari kegiatan bersama yang dilakukan terus-menerus. Ketika ruang-ruang tersebut tidak lagi difungsikan, memori kolektif itu perlahan hilang. Kita kehilangan fragmen sejarah kecil yang sebenarnya penting bagi identitas masyarakat.

Menghidupkan kembali ruang komunitas perlu dilakukan bersama-sama. Generasi muda yang paling akrab dengan teknologi bisa mengambil inisiatif untuk menciptakan ruang-ruang baru yang relevan. Membuat kegiatan berbasis minat yang mengajak orang bertemu, menghidupkan tradisi lokal melalui kegiatan tematik, atau sekadar menginisiasi pertemuan rutin sudah menjadi langkah konkret untuk mengurangi jarak antarindividu.

Namun revitalisasi ruang komunitas bukan hanya soal membuat kegiatan, melainkan juga soal membiasakan diri untuk hadir. Kita perlu menumbuhkan kembali budaya menyapa, berbicara, dan berdiskusi secara langsung. Perubahan zaman memang tidak dapat dihentikan, tetapi kita memiliki ruang untuk mengarahkan perubahan tersebut agar tetap selaras dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi bagian penting dari budaya Indonesia.

Selain itu, menghidupkan kembali ruang komunitas juga menuntut kita untuk menata ulang cara memandang interaksi sosial. Kita perlu menyadari bahwa kehadiran fisik dalam sebuah komunitas bukan sekadar formalitas, tetapi wujud kepedulian terhadap lingkungan sosial. Sekecil apa pun keterlibatan seseorang, entah ikut rapat warga, menghadiri kegiatan kampung, atau sekadar berbincang dengan tetangga, semua itu merupakan kontribusi bagi kelangsungan hubungan sosial yang lebih harmonis. Jika generasi muda mampu memadukan pemanfaatan teknologi dengan keterlibatan nyata dalam kehidupan masyarakat, maka ruang komunitas tidak hanya akan tetap hidup, tetapi juga berkembang menjadi wadah yang lebih inklusif, kreatif, dan relevan bagi masa kini maupun mendatang.

Pada akhirnya, keberadaan ruang komunitas, baik fisik maupun digital, adalah jembatan antara generasi masa lalu dan generasi masa depan. Dengan menjaga ruang tersebut tetap hidup, kita bukan hanya mempertahankan identitas budaya Indonesia, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih solid, penuh empati, dan lebih siap menghadapi tantangan sosial modern. Ruang komunitas adalah tempat di mana manusia saling memahami, dan selama ruang itu terus dipelihara, nilai-nilai kebersamaan akan selalu menemukan jalannya.

Oleh: Rafi Akbar Samirun

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image