Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Dahri

Pesantren, Alam dan Ingatan yang Pelan-pelan Kita Rawat

Eduaksi | 2025-11-25 10:40:32

Di kaki bukit Buduk Asu Singosari, pagi, embun, dan riang kicau burung tidak turun begitu saja. Ia meluncur perlahan, seperti seorang santri yang sedang khusyuk menjalani tirakat dalam jalan sunyinya.

Angin menyelinap di antara reranting pohon pinus, kopi arabika dan berbagai pohon yang menjulan menopang langit. Ia membawa aroma pinus yang bercampur dengan kesunyian khas pegunungan; kesunyian yang diam-diam mengajari kita tentang ketenangan dan keteguhan.

Pada 22–23 November 2025 kemarin, di tempat yang seolah menjadi halaman depan hutan, berbagai wajah hadir, duduk bersila sambil mewadahi rintik hujan yang begitu riang menari, menimpa kehangatan yang terjalin di antara para kyai, para gus dan ning, para penggerak lingkungan, perangkat dan pengawas desa, aktivis kampus, hingga komunitas ke komunitas yang berjalan dengan langkah mereka sendiri; komunitas Pancasuman, Mukti Laku, Santri Harian Lepas dengan keplaurannya (meminjam istilah mas Dian si penggerak itu), serta para pemerhati alam dari tiga desa penyangga hutan; Gunung Rejo, Klampok, dan Toyomarto.

Kegiatan Muktamar Pemikiran Pusat Studi Pesantren di Buduk Asu Singasari

Di antara mereka, duduk pula para pemateri yang datang bukan hanya membawa ilmu, tetapi membawa denyut spiritual yang lebih dalam, khusyuk namun penuh spirit yang menghujam sudut-sudut kesadaran.

Mas Yai Winarto, dengan teosofi-aktivismenya yang sunyi namun menggetarkan; Gus Fatkhul Ulum, pendiri Wonosantri, yang memandang alam seperti sesama makhluk yang perlu dipeluk; Kang Wahab, aktivis lingkungan yang sudah lebih dulu bergaul dengan akar pepohonan dan riak sungai; serta Gus Edi Purwanto, pendiri Pesantren Oncor Puthuk Sewu Yogyakarta, yang mengajarkan bahwa bumi adalah bagian dari tasbih panjang kehidupan. Dihadiri pula Gus Ubed selaku direktur Pusat Studi Pesantren, beliau terbang dari Bogor atas panggilan yang riuh dari gemuruh para santri harian lepas ini.

Muktamar Pemikiran ini, dijembatani oleh Pusat Studi Pesantren Jawa Timur di bawah Gus Ahsani, bukan sekadar forum diskusi. Ia seperti perayaan kecil atas kegelisahan kolektif, sebuah cara manusia berkumpul untuk bertanya kepada dirinya sendiri; tentang apa yang akan kita wariskan kepada anak-anak kita jika hutan terus digerogoti, mata air terus menipis, dan kesadaran ekologis terus menyusut?

Tiga desa penyangga hutan Gunung Rejo, Klampok, dan Toyomarto adalah tiga saudara tua yang menjadi tameng bagi kehidupan di bawahnya. Pesantren-pesantren yang berdiri di sana ibarat mata yang selalu terjaga, meski acapkali hanya diam. Dan dalam diam itu ada sesuatu yang terasa seperti panggilan, bahwa pesantren sedang diminta mengambil peran lebih besar dalam kerja-kerja ekologis.

Kesadaran menjaga lingkungan bukan barang baru, tetapi kita sering memperlakukannya seperti tamu yang tidak terlalu penting; disambut dengan senyum, tetapi tidak benar-benar dipersilakan masuk. Padahal menjaga hutan, sampah, mata air, dan hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan yang dalam bahasa Jawa lama disebut sebagai laku—bukan sekadar teori atau proyek.

Leluhur kita mengajarkan "mikul dhuwur mendhem jeru" menjaga, menghormati, dan menyembunyikan kedalaman nilai agar tidak hilang oleh waktu. Bila nasihat itu kita arahkan kepada alam, maka pohon harus dijunjung; mata air harus dijaga seperti rahasia keluarga; tanah harus dihormati; hewan harus diperlakukan sebagai saudara dalam ciptaan.

Dan di titik inilah pesantren dipanggil kembali

Para peserta muktamar dari komunitas Pancasuman dan Mukti Laku membawa cerita pengalaman mereka tentang upaya membangun kesadaran ekotoologis di brang wetan, dari mulai diskusi sampai aksi konservasi, melakukan komunikasi persuasif dengan pemuda-pemuda di sana, mengajak IPNU-IPPNU untuk bersih-bersih sungai seperti yang sudah dilakukan Bopo Yai Eko Santoso dan Presiden Republik Gubuk Gus Irul yang kerap kali turun gunung untuk mempertegas bahwa problem sosial masyarakat tidak semata-mata ekonomi dan perubahan sosial, tetapi juga sampah plastik yang tetap mengalir meski sudah berkali-kali diingatkan; tentang mata air yang semakin sunyi debitnya; tentang pepohonan yang pelan-pelan kehilangan daun seperti kehilangan harapan. Para perangkat desa dan pengawas hutan menambahkan sudut pandang lainnya; regulasi, patroli, data, dan tantangan birokrasi.

Lalu para aktivis kampus dari berbagai universitas di Malang dan sekitarnya yang menyodorkan konsep tata kelola sampah, peta kerentanan hutan, hingga potret perilaku generasi muda terhadap isu lingkungan.

Dan di antara berbagai suara itu, para kyai, gus, dan ning hadir bukan hanya sebagai tamu kehormatan, tetapi sebagai penyangga moral. Mereka membawa keheningan pesantren, keteduhan pikirannya, serta pengalaman mengelola manusia, yang sering lebih susah diatur daripada alam. Ini dibuktikan dengan pergerakan yang sudah dilakukan oleh Bu Risma dan kawan-kawan melalui gerakan sadar sampah.

Di hadapan keragaman itu, gagasan Trisamuhita Desa mengalir seperti arus kecil yang perlahan membesar.

Trisamuhita bukan proyek. Ia kerangka kesadaran yang memperjelas posisinya; kesadaran menjaga hutan, kesadaran mengelola sampah, dan kesadaran merawat mata air. Tiga kesadaran yang saling menopang, sama seperti tiga desa itu menopang hutan.

Salah satu momen paling senyap namun paling berkesan terjadi ketika Mas Yai Winarto menegaskan bahwa aktivisme lingkungan bukan sekadar tindakan sosial, tetapi jalan spiritual. Menjaga alam, katanya, adalah bentuk tafakur yang bergerak. Hutan adalah kitab yang tidak ditulis dengan huruf, tetapi dengan batang-batang dan daun. Sungai adalah ayat yang mengalir. Tanah adalah sajadah besar tempat manusia menundukkan diri.

Gus Fatkhul Ulum menambahkan, bahwa Wonosantri berdiri sebagai laboratorium hidup untuk merawat kesadaran ekologis santri agar kelak mereka tumbuh menjadi manusia yang tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga kitab hijau: kitab pepohonan.

Kang Wahab, dengan kepiawaiannya membaca tanda-tanda alam, memaparkan bagaimana sampah adalah cermin moral. Ia bukan sekadar barang buangan, tetapi bukti bahwa manusia sering melebihi kapasitas dirinya dalam memproduksi keinginan. Menjaga hutan adalah prinsip moralitas sosial, manusia sebagai khalifah.

Sementara Gus Edi Purwanto membawa kisah Pesantren Oncor Puthuk Sewu yang menjadikan laku ekologis sebagai ibadah harian. Membersihkan sungai, merawat tanaman obat, dan memahami struktur tanah menjadi bagian dari kurikulum batin.

Suara-suara itu saling bertemu, berkelindan, namun tidak saling menenggelamkan. Mereka membentuk harmoni yang selama ini tampaknya hilang dari kehidupan kita: bahwa menjaga lingkungan bukan kerja sektor tertentu; ini kerja manusia sebagai makhluk yang diberi akal sekaligus hati.

Kesadaran ekologis adalah ibadah yang paling sepi. Ia tidak dikenal riuh, tidak menghasilkan sorak tepuk tangan. Ia laku harian yang sederhana; menyapu halaman, memilah sampah, menanam pohon, merawat mata air, menahan diri dari mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Kesederhanaan itu sering kalah oleh kemewahan yang ditawarkan zaman. Tetapi pesantren dengan tradisi yang mengalir turun-temurun tentu memiliki kekuatan untuk mengembalikan perhatian kita kepada yang mendasar.

Hutan bukan hanya kumpulan batang. Ia nafas.

Sungai bukan hanya aliran air. Ia umur.

Hewan bukan hanya daging. Ia sesama makhluk.

Sampah bukan hanya benda mati. Ia rekaman akhlak kita.

Dan manusia bukan penguasa alam, melainkan peserta dalam simfoni penciptaan. Kita tidak sedang menyelamatkan alam. Kita sedang menyelamatkan hubungan kita dengannya.

Muktamar Pemikiran di Buduk Asu mungkin hanya dua hari. Tetapi dua hari cukup untuk menanam sebuah benih, asalkan kita mau merawatnya; di pesantren, di desa, di ruang kelas, di tengah keluarga, dalam diri kita sendiri. Sebab alam bukan semata air. Pohon bukan semata kayu. Hewan bukan semata daging.

Ada hubungan yang harus kita junjung dan kita pendam dalam-dalam. Inilah mikul dhuwur mendhem jeru dalam wujud yang paling senyap. Dan mungkin dari kesenyapan itu, lahirlah keberanian baru keberanian untuk kembali menjadi manusia yang menghormati bumi.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image