Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rama Kurnia Santosa

Kerusakan Alam dan Kerakusan Manusia

Politik | 2025-11-28 08:52:37

Saya telah cukup lama berjalan di antara sisa-sisa hutan yang ditebang, mengikuti aliran sungai yang berubah warna seperti luka, dan merasakan panas yang semakin menekan dari tahun ke tahun. Dari semua itu, satu hal menjadi jelas: banjir dan krisis iklim bukan lagi perkara teknis atau sekadar anomali cuaca. Ia adalah gejala dari sebuah negara yang tata kelola lingkungannya runtuh, dan dari kerakusan manusia yang dikuatkan oleh kebijakan yang lemah atau sengaja dilemahkan.

Pengkhianatan pertama tampak pada hutan. Dulu, pepohonan berdiri sebagai penjaga yang sabar, memegang tanah dengan akarnya, menelan air hujan, dan menyimpan karbon selama puluhan tahun. Kini, pohon-pohon roboh seperti barisan tahanan yang dieksekusi satu per satu—dibuka untuk perkebunan monokultur, proyek properti, jalan baru, atau pertambangan. Logikanya sederhana: menebang adalah keuntungan. Dan dengan logika seperti itu, negara memotong paru-parunya sendiri lalu bertanya-tanya mengapa ia sesak napas.

Ketika hujan turun, seperti selalu terjadi, air bukan lagi meresap ke tanah, tetapi meluncur sebagai amukan lumpur. Sungai meluap, rumah dibanjiri, dan orang-orang kecil yang tidak pernah menandatangani izin apa pun justru menanggung akibatnya. Mereka adalah korban tak bersuara dari keputusan yang dibuat jauh di gedung pemerintahan—gedung yang sering kali lebih setia kepada pemilik modal daripada pada rakyatnya.

Lalu ada tambang—baik yang ilegal maupun yang “legal” dengan pengawasan yang sama tipisnya. Lubang-lubang raksasa dibiarkan terbuka, sungai-sungai tercemar oleh tailing, dan hutan penyangga disapu bersih. Para pengelola berdalih bahwa semua “sesuai prosedur”, sebuah frasa yang di negara ini sering berarti: uang sudah mengalir ke arah yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, tambang bukan hanya perusak ekosistem, melainkan simbol betapa negara mudah dipaksa berlutut oleh keuntungan jangka pendek.

Namun, kerusakan terbesar lahir bukan dari mesin, melainkan dari meja-meja rapat yang nyaman. Izin tambang jatuh ke tangan keluarga atau kroni oligarki. Laporan AMDAL dijamin lolos asal membayar. Dan proyek-proyek raksasa tetap dijalankan meski menginjak semua aturan ekologis yang seharusnya melindungi rakyat. Dalam sistem seperti ini, alam menjadi korban pertama, masyarakat kecil korban kedua, dan kebenaran bahkan tidak masuk daftar korban.

Kota-kota besar pun tak lebih baik. Mereka ditutupi beton dari ujung ke ujung, seolah kekuatan sebuah bangsa diukur dari seberapa sedikit tanah yang dibiarkan bernapas. Ruang resapan dipangkas, sungai dipersempit demi estetika palsu, dan drainase dibiarkan usang meski penduduk terus bertambah. Ketika banjir datang, pejabat menyalahkan cuaca—sebuah cara elegan untuk menghindari cermin dan akal sehat.

Dan di balik semua ini, emisi dari industri dan kendaraan terus memerangkap panas di atmosfer. Seakan-akan bumi harus membayar mahal setiap kali kota ingin tampak modern.

Pada akhirnya, krisis iklim bukanlah bencana alam. Ia adalah bencana politik. Ia lahir dari kebijakan yang tidak berbasis ilmu, dari prioritas ekonomi yang dangkal, dan dari negara yang lebih cepat menerbitkan izin tambang daripada izin restorasi. Kita sedang hidup dalam paradoks: manusia merusak bumi demi hidup yang lebih nyaman, dan justru membuat hidup itu semakin mustahil dijalani.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image