Bayangan Pudar
Sastra | 2025-11-25 06:38:53
Di antara bisik-bisik angka yang tak pernah reda,
Tinta hitam ibarat teman setia,
menulis dengan sisa desir napas,
menyerap lelah yang tak pernah terhampar.
Setiap garis di kertas
seperti jalan pulang tanpa tepi
Tapi entah,
sudut mana yang dapat
kusebut rumah
Tinta hitam mencatat segalanya,
termasuk malam yang kehilangan pendar bulan.
Prestasi jadi saksi bisu
atas gemuruh kecil yang kusembunyikan di balik senyum.
Tapi entah,
berapa kali aku rapuh
sebelum fajar kembali menegakkan bahuku
Sembilan, sepuluh,
tak pernah cukup mendekapku.
Nilai sempurna berdiri bagai cermin pudar,
memantulkan dua siluet samar.
Aku menatap tanpa benar-benar melihat.
Satu hidup, satu hanya topeng.
Tapi entah,
siapa yang aku lihat,
aku, atau sosok yang mereka dambakan?
Mereka menoreh pujian di udara,
Kata itu bergaung di ruang yang sunyi.
Kutersenyum tapi suaraku karam,
di dada yang retak tanpa gema.
Tanah pujian menumbuhkan topeng,
namun akarku rapuh dibawahnya.
Tapi entah,
kapan mereka mengindra
Berapa lama lagi aku harus berpura-pura utuh?
Kadang aku iri pada hujan,
yang luruh tanpa penilaian.
Ia bebas tanpa gentar pada arah.
Aku hanya ingin belajar,
tanpa harus menang.
tanpa hitungan, tanpa penilaian
Tapi entah,
kapan waktu itu
akan luluh mendekapku
Ia menulis untuk diterima,
bukan untuk diagungkan
Ingin sekadar dipeluk,
tanpa harus membuktikan dirinya layak.
Tapi entah,
saat dunia berhenti menghitung
siapa yang bertahan, aku atau angka?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
