Sindrom Kejenuhan Digital: Ketika Otak Menolak Notifikasi
Teknologi | 2025-11-24 18:33:25 Notifikasi dirancang untuk mencuri perhatian, bahkan disaat sibuk maupun butuh istirahat. Bangun tidur segera membuka sosial media hingga menjelang malam menggeser laman belanja online. Otak kita terus-menerus dibombardir dengan stimulus digital yang membuat kita merasa terhubung, tapi juga membuat kita merasa lelah dan jenuh. 
Buku Masyarakat Digital: “Tren, Tantangan, dan Perubahan di Era Teknologi”, karya Feri Sulianta menjelaskan tentang berbagai fenomena yang muncul akibat penetrasi teknologi dalam kehidupan manusia, seperti cancel culture, hustle culture, quiet quitting, hingga paradox of choice.
Hal ini menunjukkan bahwa media sosial atau digitalisasi bukan sekadar memberi kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, namun juga menimbulkan efek samping bagi kesehatan mental seperti cemas, gelisah, bahkan depresi. Dalam artikel ini, akan membahas fenomena sindrom kejenuhan digital yang muncul dalam kehidupan sehari-hari sebagai efek dari digitalisasi.
Gejala Sindrom Kejenuhan Digital: 
1. Otak merasa lelah dan capek akibat menyerap informasi secara terus-menerus. Ketika notifikasi terus berdatangan maka otak akan mengolah dan menyerap informasi sehingga otak menjadi lelah dan tidak efektif dalam mengelola informasi yang ada.
2. Kesulitan fokus pada pekerjaan yang sedang dilakukan karena banyak distraksi. Setiap bunyi, getaran, pop-up notifikasi yang muncul akan menjadi distraksi yang membuat kita sebagai pengguna menjadi tidak fokus dan dengan segera ingin melihat notifikasi.
3. Kesulitan tidur akibat terpapar cahaya biru dari layar. Paparan cahaya biru dari smartphone dapat mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur.
4. Rasa cemas dan gelisah yang berlebihan karena takut ketinggalan informasi. FOMO (Fear of Missing Out) yaitu rasa cemas atau takut ketinggalan informasi yang membuat kita tidak tenang dan selalu menunggu ponsel kita. Merasa bahwa akan dikucilkan, ditinggalkan karena tidak mengikuti informasi terbaru.
5. Bergantung kepada teknologi secara berlebihan, sulit untuk melepas pandangan dari smartphone. Rasa enggan untuk berpaling dari gadget karena menggunakannya selama sehari-hari sehingga merasa tidak bisa hidup tanpa teknologi.
Penyebab terjadinya sindrom kejenuhan digital:
1. Kurangnya aktivitas fisik dan interaksi sosial secara langsung. Digitalisasi membuat kita semakin jarang untuk berinteraksi secara langsung dari mata ke mata, hal ini membuat kita semakin enggan untuk melakukan aktivitas fisik maupun sekadar mengobrol dengan orang lain karena terlalu nyaman dalam menggunakan teknologi untuk berkomunikasi.
2. Berlebihan dan bergantung dalam menggunakan teknologi seperti smartphone, komputer, dsb. Ketika bergantung pada teknologi maka akan memberikan stimulus digital bagi kita yang berakhir kejenuhan.
3. Seringkali mencari validitas melalui sosial media. Media sosial digunakan untuk mencari validitas atau kebenaran akan sesuatu hal. Membuka kolom komen,, mencari suka untuk membuktikan kebenaran yang menyebabkan hal tersebut menurunkan tingkat kepercayaan diri kita akibat bergantung.
4. Tidak ada ruang untuk beristirahat dari teknologi terutama sosial media. Bangun tidur membuka sosmed hingga malam hari yang menggeser laman belanja online. Diri kita yang tidak diberi ruang untuk lepas dari teknologi yang menjadi faktor utama dalam kejenuhan dan lelah.
Jika sindrom kejenuhan digital tidak segera ditangani maka hal tersebut dapat memberikan efek jangka panjang yang serius. Dampak efek panjang kondisi ini dapat menurunkan produktivitas dalam kehidupan sehari-hari, contohnya dalam bekerja maupun akademik, atau bahkan sekadar ingin fokus. Banyak dari pekerja akan merasa kondisi ini akan menghambat pekerjaannya, lalu bagi pelajar akan kesulitan untuk berkonsentrasi untuk mengerjakan tugas dan belajar hingga menurunkan prestasi akademik. Secara mental, hal ini menyebabkan stres berkelanjutan. Fisik juga akan ikut mengalami penurunan seperti mudah lelah, sakit kepala, hingga penurunan postur tubuh akibat menatap layar terlalu lama. Maka dari itu, perlu untuk kita mencegah efek jangka panjang yang serius dengan cara sebagai berikut.
Cara mencegah dan mengatasi sindrom kejenuhan digital:
1. Digital detox. Salah satu langkah yang cukup populer dikalangan masyarakat dengan mengajak seseorang untuk membatasi waktu penggunaan smartphone. Mengurangi waktu penggunaan smartphone sebagai istirahat digital. Misalnya dengan selama satu hari tidak membuka sosial media atau membatasi penggunaannya dengan waktu malam. Waktu luang tersebut digunakan untuk mencari aktivitas fisik yang dapat dilakukan.
2. Memperbanyak aktivitas fisik. Carilah aktivitas fisik yang kamu minati seperti olahraga, yoga, joging, dan lain sebagainya.
3. Koneksi sosial. Menggunakan waktu luang untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung kepada orang lain secara tatap muka untuk mengurangi rasa kesepian.
4. Pengaturan notifikasi. Matikan notifikasi yang mengganggu dan tidak penting untuk mengurangi rasa cemas maupun gelisah.
5. Tidur yang cukup. Pastikan untuk mendapatkan waktu tidur yang cukup untuk mengurangi stres.
6. Konsultasi dengan orang profesional. Jika sindrom kejenuhan digital sudah memasuki tahap secara signifikan mengganggu aktivitas sehari-hari maka diperlukan untuk konsultasi pada ahli kesehatan mental.
Pada akhirnya, setiap individu perlu untuk menjaga dan mengatur dirinya sendiri agar tidak terjebak dalam lingkaran digital yang membuat seseorang menjadi bergantung. Maka dari itu, sejak awal perlu untuk mencegah sindrom kejenuhan digital masuk terhadap kehidupan sehari-hari. Batasi dan jangan bergantung pada penggunaan sosial media terutama bagi anak muda yang sering menggunakan sosial media. Penting untuk sesekali rehat dalam dunia media sosial agar tetap terjaga antara dunia media sosial dan realita. Coba untuk merefleksikan diri dan bertanya: apakah saya yang mengendalikan teknologi atau justru teknologi yang mengendalikan kita? Pertanyaan sederhana ini mampu membawa perubahan kebiasaan kecil yang berdampak besar bagi kehidupan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
