Ketika Teladan di Rumah tidak Selaras dengan Ajaran di Sekolah
Agama | 2025-11-24 14:12:40
Oleh : Amir Hady (Sekretaris PWM Kaltim)
Hari Guru setiap tahun selalu menjadi momen mengharukan, tidak hanya bagi para pendidik, tetapi juga bagi para orang tua. Namun, bagi sebagian orang tua yang jujur melihat diri sendiri, Hari Guru bukan hanya waktu untuk berterima kasih—tetapi juga waktu untuk bercermin. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan karakter anak-anak sering kali tidak sejalan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang mereka lihat di rumah.
Guru bersungguh-sungguh membentuk akhlak, mengajarkan sopan santun, mendidik untuk patuh, disiplin, serta berperilaku baik. Namun sebagian orang tua justru memberikan contoh yang berlawanan, sering kali tanpa disadari. Di sekolah, anak-anak diminta berbicara santun kepada guru; tetapi di rumah, mereka mendengar ayah atau ibunya memaki di jalan raya, berkata kasar kepada tetangga, atau mencemooh berita di media sosial. Di sekolah, anak diajari tentang pentingnya jujur; namun di rumah, ia melihat bagaimana orang dewasa memanipulasi data untuk mendapatkan bantuan, atau menulis alasan yang tidak benar demi kepentingan sesaat.
Di sekolah, guru mengajarkan agar anak menghormati orang tua. Namun ketika guru menegur anak karena perilaku yang salah, justru orang tuanya yang datang marah-marah, memprotes atau bahkan mengancam akan melaporkan guru ke pihak berwajib. Pesan moral menjadi kabur, nilai-nilai mulia menjadi kontradiktif, karena teladan di sekolah tidak selaras dengan teladan di rumah.
Inilah salah satu persoalan utama yang menyebabkan menurunnya wibawa guru: kesenjangan antara pendidikan formal dan pendidikan keluarga. Orang tua sering lupa bahwa mereka adalah “guru pertama” bagi anak, dan guru di sekolah hanyalah melanjutkan apa yang seharusnya sudah dibangun sejak dini. Jika fondasi keluarga goyah, maka sekolah tidak mungkin membangun lantai yang kokoh.
Fenomena ini dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, munculnya budaya baru yang terlalu memanjakan anak. Banyak orang tua merasa bersalah karena terlalu sibuk, maka sebagai kompensasi mereka memberikan keleluasaan berlebihan kepada anak. Ketika anak ditegur gurunya, orang tua justru membela habis-habisan tanpa mau mendengar penjelasan. Akibatnya, anak tumbuh tanpa disiplin dan tanpa batasan. Padahal dalam pendidikan karakter, batasan adalah fondasi utama.
Kedua, arus media sosial turut membentuk pola pikir orang tua. Orang tua yang menghabiskan banyak waktu di media sosial cenderung terpengaruh oleh narasi-narasi tentang “guru keras”, “guru menakutkan”, atau “guru toxic”. Padahal, sering kali kasus-kasus yang viral hanyalah potongan peristiwa yang tidak menunjukkan konteks sebenarnya. Dalam situasi seperti itu, orang tua mudah mengambil kesimpulan sepihak dan mengabaikan fakta penting: bahwa guru mendidik bukan karena benci, tetapi karena peduli.
Ketiga, sebagian orang tua merasa bahwa sekolah adalah tempat “menitipkan” anak, bukan membentuknya bersama-sama. Mereka memberikan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada guru tanpa mau terlibat aktif. Anak tidak dibiasakan belajar di rumah, tidak diajari sopan santun secara konsisten, dan tidak diarahkan mengenai cara bersikap baik di lingkungan sosial. Namun ketika anak mengalami masalah di sekolah, gurulah yang pertama kali disalahkan.
Keempat, teladan publik turut mempengaruhi pola pikir orang tua. Jika setiap hari masyarakat disuguhi contoh buruk dari figur publik—pejabat yang bertengkar, selebritas yang memamerkan kekayaan, tokoh masyarakat yang berperilaku tidak elok—orang tua tanpa sadar ikut melonggarkan standar moral. Mereka menjadi lebih permisif, tidak lagi menempatkan pendidikan karakter sebagai prioritas, dan lebih fokus pada hal-hal material. Anak-anak pun tumbuh dengan nilai yang tidak seimbang: cerdas secara akademik, tetapi lemah secara moral.
Padahal, bila kita jujur, pendidikan yang paling efektif adalah pendidikan melalui teladan. Anak meniru lebih mudah daripada memahami. Mereka merekam apa yang mereka lihat lebih kuat daripada apa yang mereka dengar. Jika orang tua tidak berhati-hati dalam bersikap, kata-kata guru akan kalah oleh sikap orang tua sendiri.
Hari Guru seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya urusan sekolah, tetapi menjadi proyek bersama antara guru dan keluarga. Orang tua harus menyadari bahwa keberhasilan pendidikan anak tidak mungkin tercapai tanpa kerjasama yang harmonis. Guru memerlukan dukungan moral, komunikasi yang baik, dan kepercayaan dari orang tua agar dapat bekerja optimal.
Ada beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan orang tua untuk memperbaiki keselarasan antara rumah dan sekolah. Pertama, menjadi teladan dalam hal-hal kecil: bersikap sopan, tertib berlalu lintas, jujur dalam perkataan, dan menghargai waktu. Kedua, memberikan dukungan kepada guru dengan memahami bahwa teguran atau penegasan adalah bagian dari proses pendidikan.
Ketiga, menciptakan suasana rumah yang kondusif untuk belajar dan membangun karakter, bukan menjadi arena konflik yang disaksikan anak. Keempat, membangun komunikasi dua arah antara rumah dan sekolah, bukan hanya datang ketika ada masalah.
Jika orang tua mampu menjadi teladan utama di rumah, maka guru akan jauh lebih mudah menjalankan tugasnya. Kelas akan menjadi lebih kondusif, konflik dapat dihindari, dan nilai-nilai moral dapat ditanamkan lebih kuat. Sebaliknya, jika teladan orang tua buruk dan inkonsisten, guru akan selalu berada dalam posisi defensif, menghabiskan lebih banyak energi untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi di luar sekolah.
Pendidikan tidak mungkin berhasil jika rumah dan sekolah berjalan dalam arah yang berbeda. Anak-anak hanya akan bingung, tidak memiliki kompas moral yang jelas. Dalam situasi seperti ini, bukan hanya wibawa guru yang jatuh, tetapi masa depan anak itu sendiri.
Hari Guru adalah waktu bagi orang tua untuk menghargai peran besar guru. Namun lebih dari itu, Hari Guru adalah waktu bagi orang tua untuk bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah saya menjadi teladan yang selaras dengan ajaran guru di sekolah? Karena pada akhirnya, guru dan orang tua adalah dua sisi dari mata uang yang sama—keduanya harus bekerja selaras agar masa depan anak dapat terbentuk dengan baik.
Jika sekolah adalah tempat anak belajar ilmu, maka rumah adalah tempat anak belajar hidup. Tanpa kerjasama keduanya, pendidikan hanya akan menjadi setengah perjalanan. Semoga Hari Guru ini mengingatkan kita bahwa anak-anak butuh lebih dari sekadar kata-kata: mereka membutuhkan teladan, dan teladan itu lahir pertama kali dari orang tua.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
