Fenomena Campur Kode dalam Ragam Tulis Digital Masyarakat Indonesia
Humaniora | 2025-11-24 13:46:59
Di tengah derasnya arus digital seperti saat ini, bahasa berkembang lebih cepat daripada sebelumnya. Media sosial sudah menjadi ruang paling berpengaruh bagi tumbuhnya variasi bahasa baru, salah satunya campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Fenomena ini bukan lagi hal yang asing. Cukup dengan membuka Instagram, TikTok atau X, kita dapat menemukan kalimat seperti: “Guys aku lagi insecure banget,” atau “Sorry, guys, aku nggak bisa ikut hang out malam ini.” Ungkapan-ungkapan semacam ini kini menjadi bagian dari keseharian generasi muda Indonesia pada saat ini.
Fenomena campur kode semakin terlihat jelas pada percapakan di media sosial. Di unggahan cerita, kolom komentar, maupun forum diskusi digital, ungkapan campur kode seperti “literally capek banget, atau “vibes-nya enak banget di sini” dapat ditemukan hampir setiap hari. Pola ini muncul secara natural melalui interaksi antar pengguna media sosial. Hasil data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna TikTok dan Instagram terbanyak di dunia, sehingga penyebaran gaya bahasa baru berlangsung sangat cepat dan itu menjadi salah satu faktor yang membentuk kecenderungan gaya berbahasa generasi muda.
Penyebaran secara cepat inilah yang membuat campur kode tidak lagi dianggap sebagai gaya berbahasa tertentu, tetapi berubah menjadi suatu kebiasaan. Banyak pengguna media sosial mengadaptasi ungkapan yang mereka lihat tanpa menyadari bahwa bahasa yang mereka tulis perlahan semakin jauh dari kaidah bahasa baku. Akibatnya, banyak bentuk komunikasi yang seharusnya bersifat tertata dan formal di media tulis kini cenderung dipengaruhi oleh spontanitas dan eksperivitas bahasa lisan. Perubahan ini bukan hanya sekadar fenomena. Beberapa kajian linguistik di Indonesia menunjukkan bahwa kecenderungan interaksi di media sosial membuat generasi muda cenderung memilih bahasa campuran karena dianggap lebih ekspresif dan sesuai dengan kebiasaan mereka.
Temuan tersebut sejalan dengan laporan resmi dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dalam Status Bahasa di Indonesia 2022, yang mencatat bahwa media sosial menjadi salah satu faktor utama penyebab munculnya variasi bahasa baru di kalangan remaja dan dewasa muda. Dalam laporan tersebut, Badan Bahasa menegaskan bahwa penggunaan media digital membuat batas antara ragam lisan dan ragam tulis semakin samar, karena pengguna cenderung menulis sebagaimana mereka berbicara. Dari kebiasaan ini akhirnya melahirkan bentuk campur kode yang meluas, terutama pada ranah percakapan digital yang sebelumnya identik dengan ragam tulis.
Fenomena pergeseran ini juga tampak dalam kebiasaan menulis generasi muda. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi melaporkan bahwa mahasiswa kerap tanpa sadar memasukkan bentuk campur kode ke dalam tugas tertulis, seperti laporan, esai, hingga pesan formal. Campur kode yang awalnya hanya muncul dalam komentar ringan di media sosial kini terbawa ke situasi yang menuntut ketertiban bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa ragam tulis digital telah memengaruhi standar penulisan formal, sehingga perlu adanya kesadaran berbahasa agar peran bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dan bahasa resmi tetap terjaga.
Namun, fenomena ini tidak selalu harus dipandang sebagai ancaman. Banyak ahli bahasa melihat campur kode sebagai bagian dari dinamika linguistik yang wajar dalam masyarakat bilingual. Selama pengguna dapat membedakan konteks formal dan informal, campur kode dapat berfungsi sebagai ruang kreativitas dan ekspresi diri. Tantangannya bukan terletak pada penggunaan campur kode itu sendiri, tetapi pada kemampuan generasi muda untuk memilih ragam bahasa secara tepat sesuai situasi komunikasi. Dalam era digital yang terus berkembang, kemampuan memilah ragam lisan dan ragam tulis menjadi kunci untuk menjaga keberagaman bahasa sekaligus kualitas berbahasa Indonesia di ruang publik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
