Krisis Ekologi dan Kebutuhan Mendesak Ekonomi Hijau di Indonesia
Eduaksi | 2025-11-23 17:36:17Perubahan iklim dan krisis lingkungan saat ini merupakan isu global yang telah menjadi tantangan besar bagi umat manusia, bukan hanya sebagai ancaman, melainkan terjadi secara nyata di depan mata kita. Dampak dari kondisi ini merambah ke berbagai penjuru dunia, serta mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup di muka bumi. Krisis lingkungan seperti pencemaran udara, pemanasan global, penipisan lapisan ozon, banjir yang terus menerus, hewan-hewan yang perlahan punah hingga permukaan laut yang terus menerus naik menjadi ancaman serius terhadap berbagai aspek kehidupan dan keseimbangan ekosistem.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan terbarunya, menyoroti proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi yang dianggap melegalisasi deforestasi yang memicu “kiamat ekologi”. Saat ini, seluas 33 juta hektar hutan dibebani oleh izin di sektor kehutanan. Bukan hanya itu, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan 7,3 juta hektar hutan sudah dilepaskan, di mana 70% nya untuk perkebunan sawit. Angka-angka ini memperlihatkan dengan jelas betapa masifnya tekanan terhadap hutan Indonesia yang seharusnya berfungsi sebagai benteng pertahanan iklim dan keanekaragaman hayati.
Meskipun pemerintah kerap menyuarakan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, praktik di lapangan menunjukkan bahwa alam masih dipandang sebagai “modal” yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Ironisnya, atas nama pembangunan, kita justru tengah mengorbankan masa depan ekologis bangsa. Padahal, kerusakan lingkungan tidak hanya menimbulkan dampak ekologis, tetapi juga kerugian ekonomi yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya akibat bencana iklim, gagal panen, hingga kerusakan infrastruktur.
Dalam menghadapi tantangan krisis lingkungan dan ekonomi yang saling berkaitan, konsep ekonomi hijau (green economy) hadir sebagai salah satu solusi. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia beralih ke sistem ekonomi hijau yang tidak hanya memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan manusia, tetapi juga berfokus terhadap pembangunan yang berkelanjutan guna melestarikan lingkungan.
Transisi menuju ekonomi hijau bukanlah sekadar tren global, tetapi kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Ekonomi hijau bertujuan meningkatkan kesejahteraan manusia sekaligus memastikan keberlanjutan ekologis melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijak. Istilah ekonomi hijau telah dikenal sejak tahun 1989 ketika sekelompok ekonom lingkungan di Inggris merilis laporan berjudul Blueprint for a Green Economy dan semakin populer ketika menjadi tema penting dalam konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2012 (Rio+20). Selain itu, ekonomi hijau telah banyak digunakan untuk menangani krisis keuangan dan perubahan iklim dikenal luas karena menunjukkan harmonisasi tiga isu: modal manusia, lingkungan, dan keadilan sosial.
Banyak negara maju, contohnya Jerman telah berhasil menerapkan kebijakan ekonomi hijau, beralih ke energi terbarukan, transportasi rendah emisi, pertanian organik, dan sistem daur ulang industri. Sementara Indonesia, masih terlalu nyaman dengan model ekonomi lama yang ekstraktif, jangka pendek, dan berorientasi pada keuntungan elite. Kehadiran Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon merupakan langkah awal menuju perubahan, namun implementasinya masih jauh dari optimal dan belum menyentuh akar permasalahan seperti deforestasi, ketergantungan energi fosil, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan. Hal ini memicu satu pertanyaan besar: Sampai kapan ekonomi negeri ini bertumpu pada eksploitasi hutan, laut, dan udara kita sendiri?
Untuk keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif, Indonesia memerlukan langkah konkret yang terukur dan berkelanjutan. Pemerintah harus mempercepat transisi energi dengan memperbesar porsi energi terbarukan, menghentikan pembangunan PLTU baru, serta mendorong investasi panel surya dan energi angin. Reformasi menyeluruh terhadap izin tambang dan hutan juga penting dilakukan, mulai dari audit independen, pencabutan izin bermasalah, hingga penegakan hukum yang tegas bagi perusak lingkungan. Di sisi lain, insentif fiskal perlu diberikan kepada industri hijau seperti manufaktur energi terbarukan, pertanian organik, dan pengolahan sampah berbasis ekonomi sirkular. Masyarakat pun harus dilibatkan melalui edukasi lingkungan sejak dini, kampanye literasi iklim, serta pemberdayaan komunitas lokal. Semua langkah ini hanya akan efektif jika dibarengi perbaikan tata kelola yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan.
Padahal, Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi pelopor ekonomi hijau di Asia Tenggara. Kita punya sinar matahari yang melimpah untuk energi surya, kekayaan hayati yang luar biasa untuk mengembangkan pertanian organik dan ekowisata, serta peluang besar untuk membangun ekonomi sirkular melalui daur ulang dan pengelolaan sampah yang lebih baik. Semua peluang itu bisa menjadi kekuatan besar apabila Indonesia berani melepaskan diri dari model ekonomi lama yang masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam
Pada akhirnya, masa depan negara ini tidak boleh ditentukan oleh cara pembangunan yang justru merusak lingkungan kita sendiri. Transisi menuju ekonomi hijau bukan lagi sekadar opsi tambahan, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi generasi berikutnya. Pertanyaannya pun berubah, bukan lagi apakah kita harus beralih ke ekonomi hijau, tetapi kapan kita berani memulainya secara nyata, sebelum kerusakan yang terjadi semakin parah dan tidak bisa lagi dipulihkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
