Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Andhika S. UIN Jakarta, Ekonomi Syariah

Memahami Ijarah: Akad Sewa-Menyewa dalam Islam yang Fleksibel dan Berkeadilan

Agama | 2025-11-22 22:30:17
Ilustrasi Ijarah (Akad Sewa-Menyewa): Generated by AI

Setelah mempelajari materi mengenai ijarah pada jurnal “Analisis Penerapan Akad Rahn, Qardh dan Ijarah Pada Produk Gadai Emas: Studi Kasus PT. Bank Aceh Syariah Cabang Jeuram & Konsep Hukum Terhadap Ijarah (Sewa Menyewa)”. Saya memahami bahwa ijarah merupakan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah yang diakui dalam syariat Islam sebagai bentuk pemindahan manfaat suatu barang atau jasa dengan imbalan tertentu, bukan pemindahan kepemilikan barang. Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti ganti atau upah, dan para ulama sepakat bahwa akad ini dibolehkan selama manfaat yang diperoleh jelas, halal, dan disepakati kedua belah pihak.

Dasar hukum ijarah tidak hanya berasal dari Al-Qur’an, seperti QS. Al-Qashash ayat 26, tetapi juga dari hadis Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa Allah akan menjadi musuh bagi orang yang menyewa tenaga pekerja kemudian tidak membayar upahnya.

Rasulullah SAW bersabda:

ثَلَاثَةُ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوفِهِ أَجْرَهُ. رواه ابن ماجه

Artinya: "Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuh-Ku. Barang siapa menjadi musuh-Ku maka Aku memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat). Kedua, seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang harga penjualnya. Ketiga, seorang yang mengkaryakan (memperkerjakan/menyewa jasa) seorang buruh tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah." (HR Ibnu Majah).

Dari sinilah saya menangkap bahwa Islam sangat menjaga keadilan dan penghargaan terhadap hak manusia dalam interaksi ekonomi.

Selain itu, Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 memperkuat pemahaman saya bahwa akad ijarah bukan hanya konsep teoritis, tetapi juga telah diformalkan secara resmi sebagai pedoman dalam praktik lembaga keuangan syariah. Fatwa tersebut menjelaskan rukun ijarah, yaitu adanya sighat (ijab kabul), pihak yang berakad (mu’jir dan musta’jir), serta objek akad berupa manfaat barang atau jasa yang halal, jelas spesifikasinya, dan dapat dinilai secara ekonomi. Termasuk di dalamnya kewajiban LKS untuk menyediakan dan memelihara barang/jasa, serta kewajiban nasabah untuk membayar ujrah (upah/sewa) tepat waktu. Jika terjadi sengketa, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah terlebih dahulu, dan jika tidak selesai, maka dilanjutkan ke Badan Arbitrasi Syariah.

Saya juga memahami bahwa akad ijarah bersifat mubah dan mengikat, sehingga tidak boleh dibatalkan sepihak kecuali ada sebab syar’i seperti hilangnya manfaat dari barang yang disewa. Namun Islam juga memberi ruang fleksibilitas, seperti diperbolehkannya penyewa untuk menyewakan kembali barang tersebut selama tidak bertentangan dengan kesepakatan awal.

Secara keseluruhan, saya melihat bahwa ijarah bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi sekaligus mencerminkan etika, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Melalui aturan yang rinci dan pengawasan syariah seperti DSN-MUI, saya menyadari bahwa Islam tidak hanya mengatur agar transaksi berjalan sah secara hukum, tetapi juga ingin memastikan bahwa semua pihak merasa aman, adil, dan tidak dirugikan.[1]

Salah satu keunggulan besar dari akad ijarah adalah fleksibilitasnya yang dapat disesuaikan dengan berbagai kebutuhan. Dari penjelasan para ahli, ijarah ternyata terdiri dari beberapa jenis yang memiliki fungsi dan karakteristik berbeda, sehingga tidak hanya sebatas sewa-menyewa barang, tetapi juga mencakup jasa hingga kepemilikan aset secara bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah tidak kaku, justru sangat adaptif terhadap kebutuhan masyarakat modern.

Contohnya, ijarah ‘amal adalah ijarah yang objeknya berupa jasa manusia, seperti seseorang yang membayar tenaga kerja atau keterampilan tertentu. Menurut saya, ini membuktikan bahwa Islam mengakui profesi dan tenaga manusia sebagai sesuatu yang bernilai dan layak dihargai secara adil. Sementara itu, ijarah ‘ain lebih fokus pada penyewaan aset seperti kendaraan, rumah, atau mesin usaha tanpa memindahkan kepemilikan, hanya hak guna. Model ini sangat ideal bagi pelaku usaha yang belum punya modal besar, tetapi ingin langsung produktif.

Lebih jauh lagi, ijarah wa al-‘iqtina dan ijarah musyarakah muntanaqisah menurut saya merupakan inovasi penting dalam industri perbankan syariah modern. Keduanya memungkinkan nasabah untuk memiliki barang di akhir masa sewa secara bertahap atau penuh. Ini mirip dengan skema “cicilan” atau “sewa beli”, tetapi perbedaannya adalah tetap menjaga unsur kepatuhan syariah tanpa bunga. Hal ini sangat relevan bagi generasi muda masa kini yang ingin memiliki rumah atau kendaraan, namun ingin menghindari riba.

Terakhir, ijarah multijasa menjadi bukti bahwa sistem ini tidak hanya berhenti pada barang, tetapi juga bisa mencakup layanan seperti pendidikan, kesehatan, hingga perjalanan. Menurut saya, ini adalah bentuk konkret bahwa ekonomi Islam bukan hanya bicara teori, tetapi benar-benar hadir untuk mendukung kebutuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan.

Dari berbagai jenis ini, saya menyimpulkan bahwa ijarah bukan sekadar transaksi tunggal, melainkan sistem ekonomi yang fleksibel, beretika, dan dirancang untuk menyeimbangkan kemaslahatan individu dan masyarakat. Perbedaan jenis-jenis ijarah ini juga memperlihatkan bahwa Islam selalu membuka ruang inovasi selama tidak keluar dari prinsip keadilan, kejelasan, dan keberkahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image