Jual Beli dalam Islam: Nilai yang Tetap Relevan di Tengah Kemudahan Digital
Agama | 2025-11-21 14:53:29Jual Beli dalam Islam: Nilai yang Tetap Relevan di Tengah Kemudahan Digital
Belanja online sekarang sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Dari pakaian, makanan, sampai barang elektronik, semua bisa dibeli tanpa perlu keluar rumah. Namun di balik kemudahan itu, kita sering lupa bahwa setiap transaksi membawa nilai moral dan prinsip syariah yang perlu dijaga.
Dalam Islam, jual beli bukan sekadar pertukaran barang dan uang. Ia menyentuh aspek etika, ibadah, dan tanggung jawab. Setiap rupiah yang keluar atau masuk punya konsekuensi, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga secara spiritual.
Apa yang Dimaksud Jual Beli dalam Islam?
Dalam Fikih Muamalah, jual beli (al-bay’) adalah pertukaran harta dengan harta secara suka sama suka. Syaratnya sederhana tetapi tegas:
- ada ridha antara penjual dan pembeli,
- tidak ada unsur riba,
- tidak ada gharar (ketidakjelasan),
- dan tidak ada penipuan.
Islam tidak melarang aktivitas ekonomi. Justru Allah menegaskan:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Artinya, asal jasa atau barang jelas, akad transparan, dan tidak menzalimi, maka transaksi itu halal.
Etika yang Mesti Dijaga dalam Setiap Transaksi
Rasulullah ﷺ dikenal sebagai pedagang yang jujur dan amanah. Beliau bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ، وَالصِّدِّيقِينَ، وَالشُّهَدَاءِ
"Seorang pedagang jujur dan amanah akan dibangkitkan bersama para nabi, para shiddiqin, serta orang-orang yang mati syahid." [HR. At-Tirmidzi 1209, Shahih At-Targhib]
Ini menunjukkan bahwa berdagang bukan hanya soal untung. Ada nilai ibadah di baliknya.
Di era digital sekarang, etika seperti ini justru paling sering dilanggar. Contohnya:
- foto produk yang tidak sesuai,
- kualitas barang tidak dijelaskan,
- pengiriman lama tanpa pemberitahuan,
- atau harga dinaikkan lalu diberi label “diskon”.
Dalam fikih, tindakan seperti itu termasuk gharar dan merusak halal-nya sebuah transaksi.
Tantangan Transaksi Zaman Sekaran
Berkembangnya marketplace dan sistem pembayaran online membawa kemudahan, tapi juga mengundang persoalan fikih baru. Beberapa yang sering muncul:
1. Pre-order tanpa kejelasan waktu
Jika waktu pengiriman tidak jelas, transaksi masuk kategori gharar.
2. Dropship tanpa akad wakalah
Menjual barang yang bukan miliknya tanpa izin sah dari pemilik barang.
3. Produk digital tanpa kepemilikan valid
E-book bajakan, software crack, atau produk digital ilegal.
4. Sistem refund yang merugikan pembeli
Padahal dalam Islam, pembeli berhak menerima barang sesuai akad.
Semua ini menunjukkan bahwa memahami fikih muamalah tidak bisa berhenti di teori lama. Kita butuh cara menerapkannya dalam konteks modern.
Refleksi: Menjaga Keberkahan Transaksi dengan Kaidah Fikih
Perkembangan transaksi hari ini sebenarnya memperlihatkan betapa lenturnya fikih dalam menghadapi zaman. Para ulama sudah menegaskan:
أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
“Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Artinya, jual beli digital, sistem pembayaran baru, atau model bisnis modern pada dasarnya halal selama tidak mengandung riba, penipuan, dan ketidakjelasan.
Namun kenyataannya, kemudahan teknologi sering membuat kita mengabaikan hal-hal mendasar yang ditekankan dalam fikih: kejelasan akad, kejujuran informasi, dan keadilan. Padahal Allah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗۚ وَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ
Janganlah kamu mendekati (menggunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil sekalipun dia kerabat(-mu). Penuhilah pula janji Allah. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil pelajaran.”(QS.Al An’anm:152)
Ayat ini mencakup bentuk keadilan paling luas mulai dari kejelasan harga, transparansi barang, hingga keselarasan antara deskripsi dan kondisi nyata produk.
Di sinilah saya melihat bahwa jual beli online justru menguji komitmen kita terhadap etika Islam. Ketika marketplace ramai dengan penipuan dan manipulasi harga, fikih sudah lama mengajarkan larangan gharar. Ketika dropship tidak jelas akadnya, fikih menyediakan solusi berupa wakalah. Ketika sistem pembayaran merugikan salah satu pihak, fikih menekankan prinsip ridha dan adl (keadilan).
Transaksi yang halal bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi menjaga supaya harta yang masuk ke kita benar-benar bersih dan membawa ketenangan. Banyak orang kaya tetapi hidupnya gelisah; sementara ada pedagang kecil yang bahagia karena rezekinya didapatkan dengan jujur.
Fikih muamalah pada akhirnya menunjukkan bahwa keberkahan adalah tujuan utama. Ketika kita menjaga kejelasan, kejujuran, dan keadilan dalam setiap transaksi, maka jual beli yang kita lakukan bukan hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga menguatkan hubungan kita dengan Allah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
