Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image melinda budiati putri

Remaja Mager, Masa Depan Terancam: Saat Kurang Gerak Menjadi Gaya Hidup

Gaya Hidup | 2025-11-20 22:58:14

Di era serba cepat ini, tubuh kita justru semakin jarang bergerak. Aktivitas yang dulunya membuat kita berkeringat kini digantikan oleh layar dan sentuhan jari. Bayangkan saja, banyak anak muda yang merasa sibuk setengah mati, padahal sebagian besar waktunya dihabiskan duduk belajar, menatap laptop, atau sekadar scrolling media sosial. Fenomena ini sering kita anggap sepele, namun sesungguhnya menyimpan ancaman besar bagi kesehatan yaitu gaya hidup malas bergerak atau sedentary lifestyle.

Menurut Survei Kesehatan Indonesia (2023), sebanyak 37,4% penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun kurang melakukan aktivitas fisik. Alasan utamanya adalah tidak ada waktu (48,7%), rasa malas (32,6%), usia lanjut (19,5%), dan kurangnya rekan untuk beraktivitas (9,8%). Angka ini menunjukkan bahwa kebiasaan ini bukan hanya masalah orang dewasa melainkan remaja dan mahasiswa pun mulai terjebak. Untuk konteks global, menurut CDC (2022), di negara seperti Amerika Serikat, sekitar 40% orang dewasa menghabiskan waktunya lebih dari 8 jam sehari hanya untuk duduk, masalah ini menjadi silent pandemi (pandemi tidak langsung) yang melanda dunia.

Padahal, WHO (2020) merekomendasikan agar orang dewasa berusia 18–64 tahun melakukan aktivitas fisik intensitas sedang selama 150–300 menit per minggu, seperti berjalan cepat, bersepeda santai, atau berenang. Untuk anak dan remaja? Mereka dianjurkan aktif setidaknya 60 menit per hari melalui kegiatan ringan seperti bermain, menari, atau olahraga sederhana. Sayangnya, partisipasi di Indonesia masih jauh dari target ini.

Masalahnya, tubuh manusia tidak dirancang untuk diam terlalu lama. Duduk lebih dari enam jam sehari bisa meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan gangguan jantung. Tidak hanya itu, kebiasaan ini juga berdampak pada kesehatan mental. Dalam penelitian yang diterbitkan di The Lancet Psychiatry (2021) menunjukkan bahwa orang yang jarang bergerak cenderung memiliki tingkat stres dan cemas lebih tinggi. Dapat kita lihat dari banyak contoh saat ini, salah satunya pada mahasiswa. Rutinitas kuliah yang padat setiap harinya membuat mereka lebih suka maraton drakor, tidur berlebihan, atau bahkan hanya scroll sosial media saat hari libur daripada berkegiatan di luar atau berolahraga ringan padahal waktu itu bisa jadi kesempatan emas untuk menyegarkan tubuh.

Penyebabnya juga bisa dari lingkungan seperti ruang publik yang minim, lalu lintas padat, dan kurangnya promosi kesehatan di sekolah atau kampus. Akibatnya, kesadaran bergerak semakin memudar, dan tubuh kita menjadi terbiasa diam. Tapi saat ini ada solusi modern yang dapat dicoba yaitu dengan menggunakan aplikasi seperti Google Fit atau Strava yang dapat melacak langkah harian. Banyak mahasiswa yang mulai memakai aplikasi ini dan merasa lebih termotivasi.

Dari perubahan kecil saja bisa memberikan dampak besar jika dilakukan secara konsisten. Mulai dengan naik tangga daripada lift, jalan kaki sebentar setelah belajar, atau peregangan ringan setiap duduk selama satu jam. Jika konsisten, kebiasaan ini bisa menurunkan risiko penyakit kronis secara signifikan. Selain itu, pihak kampus juga bisa ikut program kampus sehat dengan menyediakan area hijau, kegiatan olahraga rutin, atau workshop kesehatan yang akan membangun budaya aktif.

Pada akhirnya, menjaga kesehatan fisik bukan soal tubuh ideal semata, melainkan menghargai anugerah kehidupan. Gaya hidup mager mungkin nyaman di awal, tapi dampaknya bisa beban jangka panjang. Mari mulai bergerak sekecil apa pun langkahnya, ia akan beri dampak besar. Karena menjaga kesehatan adalah bentuk syukur sederhana untuk diri sendiri.

Anda siap mulai hari ini?

(Referensi: Survei Kesehatan Indonesia (2023), WHO (2020), CDC (2022), Stubbs et al. (2021) di The Lancet Psychiatry.)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image