Toxic Positivity, Komplikasi Jiwa Anak Muda
Gaya Hidup | 2025-11-20 15:29:49Saat ini, media sosial kita tengah dibanjiri kata-kata motivasi yang menuntut kita untuk selalu bahagia, bersyukur, dan melihat sisi positif dari setiap kesulitan. Fenomena ini dikenal sebagai Toxic Positivity, fenomena ini merupakan keyakinan bahwa kita harus selalu mempertahankan sikap optimis tanpa peduli seberapa sulit atau menyakitkan situasinya. Penulis berpendapat bahwa budaya toxic positivity yang marak di platform digital menciptakan tekanan secara psikologis yang menyesakkan bagi anak muda, dan pada akhirnya, menghambat proses penyembuhan dan pertumbuhan emosional dengan cara yang natural dilalui oleh remaja.
Salah satu bahaya terbesar dari toxic positivity adalah tidak adanya validasi akan emosi negatif yang wajar. Ketika seseorang berbagi tentang kegagalan atau kesedihan, tanggapan yang muncul justru berbentuk kalimat klise seperti "Pasti ada hikmahnya kok" atau "Jangan gitu dong! Fokus tuh sama yang positifnya aja!" Pesan ini meskipun terdengar suportif, secara tidak langsung melarang orang untuk mengalami dan memproses emosi yang sulit seperti kesedihan, kemarahan, atau frustrasi.
Para ahli psikologi klinis sering menekankan pentingnya validasi emosi. Dr. Susan David, penulis buku Emotional Agility, menjelaskan bahwa upaya terus-menerus untuk menyembunyikan atau menekan emosi negatif justru terbukti merusak mental kita. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa orang yang berusaha menekan emosi yang sulit akhirnya justru memperkuat emosi tersebut. Keseimbangan emosional bukan tentang menjadi positif sepanjang waktu, melainkan tentang kemampuan untuk menerima semua emosi kita, baik dan buruk sebagai data. Dengan memaksakan "kebahagiaan" kepada diri kita sendiri, kita diajari bahwa emosi negatif adalah kegagalan pribadi, bukan respons manusiawi yang normal terhadap kesulitan.
Di saat yang sama, platform seperti Instagram dan TikTok menjadi ajang orang-orang untuk terlihat memiliki kehidupan yang sempurna. Vibes yang selalu chill, foto-foto dengan senyum lebar, dan caption yang selalu bersemangat menciptakan ilusi bahwa semua orang kecuali diri kita sedang menjalani hidup tanpa hambatan emosional. Budaya ini sering menggunakan toxic positivity sebagai perisai untuk menghindari kerentanan. Kita didorong untuk membeli produk self-care sebagai solusi cepat, alih-alih melakukan pekerjaan internal yang sulit. Dalam wawancara dengan The New York Times mengenai tren toxic positivity di media sosial, para ahli mencatat bahwa fenomena ini seringkali merupakan bagian dari "kapitalisme dalam kebahagiaan," di mana masalah emosional dikomersialkan. "Alih-alih mengakui kesulitan yang mendalam, kita didorong untuk membeli sesuatu, memposting sesuatu yang positif, dan 'berubah menjadi lebih baik' sendiri. Dengan mengabaikan perlunya dukungan sosial dan penerimaan emosional kita." Hasilnya adalah rasa kesepian yang mendalam, di mana anak muda merasa harus berjuang sendirian di balik layar, takut dinilai negatif jika mereka jujur.
Sudah saatnya kita melawan toxic positivity di media sosial dan mulai mempraktikkan kecerdasan emosional yang sesungguhnya. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang memaksakan senyum saat kondisi hati tak karuan, tetapi tentang memberi ruang bagi seluruh emosi yang ada di dalam jiwa manusia. Anak muda memiliki hak penuh untuk merasakan kesedihan, marah, atau kecewa tanpa harus dituntut untuk selalu berpikir positif. Oleh karena itu, tantangan kita adalah menggunakan media sosial untuk berbagi status emosional yang jujur, meski terasa canggung, dan menciptakan ruang online yang aman di mana dukungan yang tulus lebih dihargai daripada kebahagiaan yang dipaksakan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
