Gen Z dan Kecemasan Masa Depan: Ketika Hidup Seperti Balapan
Gaya Hidup | 2025-11-19 23:13:11Zaman sekarang, hidup rasanya benar-benar seperti balapan. Semua orang seakan-akan sedang berlari entah mengejar karier, validasi, atau sekadar pengakuan bahwa mereka berhasil. Dan di tengah semua itu, generasi kita, Gen Z, sering kali merasa tertinggal, cemas, dan kehilangan arah. Bukan karena malas, tapi karena dunia bergerak terlalu cepat.
Sejak kecil, kita sudah terbiasa dengan standar tinggi harus pintar, harus produktif, harus sukses muda. Di media sosial, teman sebaya terlihat punya hidup sempurna kerja di tempat keren, jalan-jalan ke luar negeri, atau sudah punya bisnis ssendiri. Akhirnya kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal dekat. Padahal yang kita lihat cuma potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan keseluruhannya. Tapi tetap saja, hati kecil kita sering berbisik, "Kok aku belum kayak mereka ya?"
Kecemasan yang Tidak Terlihat
Banyak Gen Z yang terlihat santai, tapi sebenarnya memikul tekanan besar. Kita takut gagal, takut salah pilih jalan, takut masa depan nggak sesuai harapan. Di satu sisi, kita ingin hidup bermakna, namun di sisi lain kita juga lelah harus terus berjuang tanpa tahu ujungnya di mana.
Perasaan itu disebut future anxiety kecemasan terhadap masa depan yang belum terjadi. Menurut penelitian American Psychological Association (APA, 2022), generasi Z adalah kelompok dengan tingkat stres tertinggi dibanding generasi sebelumnya, terutama karena faktor ekonomi, ketidakpastian karier, dan kondisi dunia yang cepat berubah. Ironisnya, semakin banyak informasi yang kita dapat dari internet, semakin besar juga rasa takut itu. Dunia terasa terlalu kompleks untuk dihadapi sendirian.
Ketika Hidup Jadi Kompetisi
Kita tumbuh di era yang serba cepat dan penuh perbandingan. Media sosial bukan cuma tempat berbagi, tapi juga arena perlombaan tak kasat mata. Semua orang berlomba menunjukkan versi terbaik dari dirinya. Kita jadi takut berhenti. Takut ketinggalan. Takut dianggap tidak berkembang.
Padahal dalam hidup, setiap orang punya waktunya masing-masing. Tidak semua orang harus sukses di usia 20-an. Tidak semua jalan harus sama. Tapi sayangnya, suara itu sering kalah oleh tekanan sosial yang bilang, “Kalau kamu belum berhasil sekarang, berarti kamu gagal.”
Butuh Waktu untuk Tenang
Terkadang, kita lupa bahwa berhenti sejenak bukan berarti menyerah. Justru, itu cara untuk bertahan. Tidak apa-apa kalau kamu belum tahu ingin jadi apa. Tidak apa-apa kalau kamu masih mencari arah. Semua orang punya ritmenya sendiri. Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tetap bisa berjalan tanpa kehilangan dirinya di tengah perjalanan. Tenang bukan berarti pasif. Tenang artinya sadar bahwa setiap orang punya waktunya sendiri. Kita tidak sedang berlomba, kita sedang bertumbuh. Dan mungkin, di titik paling tenang itulah kita bisa benar-benar mengenal diri sendiri.
Menemukan Arti di Tengah Kegelisahan
Di tengah kegelisahan, kita sering lupa untuk berterima kasih pada diri sendiri yang sudah bertahan sejauh ini. Tidak apa-apa kalau belum mencapai semua yang diinginkan. Kadang, menemukan arti hidup bukan soal menemukan jawaban besar, tapi soal menyadari hal kecil yang memberi makna di setiap langkah.
Daripada terus membandingkan diri dengan orang lain, mungkin kita perlu belajar untuk menikmati sebuah proses. Mulai dengan menghargai hal-hal kecil. Menyadari bahwa sukses bukan hanya soal uang atau jabatan, tapi juga tentang ketenangan hati, hubungan yang sehat, dan rasa cukup. Gen Z punya banyak potensi kreatif, adaptif, dan sadar diri. Tapi untuk bisa tumbuh, kita juga harus belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa diraih sekaligus. Kadang, perjalanan yang lambat justru membuat kita lebih kuat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
